Dalam satu kesempatan, mantan Presiden Abdurrahman Wahid, atau yang akrab disapa Gus Dur, melontarkan sebuah lelucon yang dikenang oleh banyak orang hingga kini. Gus Dur, yang wafat pada 2009 lalu, berkata bahwa hanya ada tiga polisi di negara ini yang tidak bisa disuap.
Ketiga sosok yang dimaksud adalah patung polisi, polisi tidur dan Hoegeng. Sosok yang terakhir memang menjadi legenda, dan namanya makin sering disebut di tengah sejumlah kasus yang menodai citra polisi belakangan ini.
Bernama lengkap Hoegeng Iman Santoso, ia merupakan Kepala Polisi Republik Indonesia yang ke lima, di mana ia menjabat posisi tersebut pada periode 1968-1971. Selain aktif berkarir di kepolisian, ia juga dipercaya memegang berbagai macam posisi di masa pemerintahan Presiden Soekarno.
Salah satu kisah paling melekat pada diri Hoegeng adalah kekebalannya pada suap atau hadiah. Sekitar tahun 1956 saat menjabat sebagai Kepala Bagian Reserse Kriminal Kepolisian Daerah Sumatra Utara, nama Hoegeng mencuri perhatian.
Ia yang baru saja dipindah tugaskan ke Medan, menolak hadiah yang diberikan oleh para pengusaha dengan meletakkan barang-barang tersebut di jalan depan rumahnya. Politisi senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) asal Medan, Panda Nababan yang ketika itu masih remaja, menyaksikan sendiri peristiwa itu.
“Dia tinggal di Polonia, di dekat rumah saya. Ada pengusaha-pengusaha kasih ke dia, dia taruh di luar itu kulkas, mesin cuci, setrika listrik. Ditaruh di luar, dia buang. Biar saja tukang loak ngambilin. Itu terkenal di Medan pada waktu itu. Biasanya di Medan itu style di sana pengusaha, pejabat baru datang langsung diservis dikasih macam-macam,” papar Panda.
Kisah tersebut diceritakan Panda, dalam acara bedah buku Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan pada Selasa (27/10). Buku yang pernah terbit pada 2013 ini, diluncurkan kembali edisi revisinya dengan berbagai penambahan, sekaligus untuk memperingati 100 tahun Hoegeng. Buku ini ditulis oleh Suhartono, dan diterbitkan Penerbit Buku Kompas.
Orang Dekat Soekarno
Selama bertugas di berbagai posisi, Hoegeng adalah orang dekat Presiden Soekarno. Keduanya sudah bertemu sejak 1947. Ketika itu Hoegeng menjadi pengawal Soekarno saat sang presiden mengunjungi Yogyakarta.
Putra tertua Soekarno, Guntur Soekarnoputra, menjadi saksi hidup kedekatan kedua sosok tersebut. Ia mengisahkan, cukup mudah membedakan kedekatan Soekarno dengan orang-orang di sekitarnya.
Jika seseorang telah diajak berdiskusi di kamar tidur Soekarno, maka bisa dipastikan hubungan mereka dekat secara pribadi.
Hoegeng adalah satu dari sedikit pejabat kala itu, yang beberapa kali diajak Soekarno berdiskusi di kamar tidurnya.
Hebatnya, kedekatan itu tidak melunturkan sikap tegas Hoegeng. Ketika Wisma Yaso, yang dibangun sebagai tempat untuk istri kelima Soekarno, Dewi Soekarno, selesai dibangun, Soekarno meminta bantuan Hoegeng untuk mencarikan perabotan sesuai permintaan sang istri yang menginginkan perabotan yang berasal dari luar negeri.
Namun, kata Guntur, permintaan itu ditolak tegas karena menurut Hoegeng aturan yang berlaku tidak memungkinkan hal itu.
“Pak Hoegeng ngomong terus terang ke Bapak. Itu tidak bisa Pak. Kalau bapak mau ya keluarkan perundang-undangan baru atau aturan baru. Bapak bisa mengerti, apa yang dikemukakan Pak Hoegeng, dan sudah tidak jadi. Semua perangkat-perangkat di Wisma Yaso diambil dari produk-produk dalam negeri saja,” tutur Guntur mengisahkan peristiwa itu.
Kisah kejujuran Hoegeng lainnya ditemui saat Soekarno membutuhkan sejumlah lukisan untuk dipajang di istana. Kepada Hoegeng, Soekarno meminta bantuan untuk membeli beberapa lukisan, tetapi sekaligus mengatakan bahwa dirinya tak punya uang.
Beberapa waktu kemudian, Hoegeng datang membawa lukisannya sendiri. Soekarno lalu menanyakan ke Hoegeng, dia harus bayar berapa untuk lukisan itu.
“Enggak usah lah, ini gratis kok,” ujar Guntur menirukan jawaban Hoegeng pada Soekarno.
Lukisan kembang itu kemudian dipajang Soekarno di dinding sisi kiri kamar tidurnya.
Usulan Pahlawan Nasional
Sejumlah pihak mengusulkan agar Hoegeng ditetapkan pemerintah sebagai Pahlawan Nasional. Salah satu usul itu datang dari Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, karena Hoegeng lahir di Pekalongan, Jawa Tengah.
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, Bambang Soesatyo, termasuk yang setuju akan usulan tersebut.
“Usulan Gubernur Jawa Tengah untuk mendorong Pak Hoegeng menjadi Pahlawan Nasional patut dipertimbangkan. Agar bisa menginspirasi dan memotivasi para petugas penegak hukum yang lain atau pejabat-pejabat lain, bersikap yang sama, bertindak yang sama, seperti Pak Hoegeng,” ujar Bambang.
Dukungan yang sama datang dari Komisi Kepolisian Nasional. Anggota Kompolnas Poengky Indarti mengatakan, pihaknya akan memberikan rekomendasi kepada Presiden, untuk mewujudkan hal ini.
“Karena dengan mendukung Pak Hoegeng menjadi Pahlawan Nasional, maka secara simultan ini juga akan mendorong pelaksanaan reformasi kultural Polri. Agar Polri menjadi institusi yang lebih profesional, mandiri dan dicintai oleh masyarakat,” ujar Poengky.
Namun, Kompolnas mengakui, menjadikan Hoegeng teladan di masa kini bukan hal yang mudah. Salah satu strateginya, adalah melalui proses rekrutmen dan pendidikan yang baik. Pimpinan Polri juga harus memberikan contoh yang baik, sebagaimana Hoegeng bertindak.
Upaya untuk menjadikan Hoegeng sebagai teladan bagi polisi sebenarnya sudah dilakukan. Setidaknya, menurut Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Polri, Komjen Agung Budi Maryoto, nama Hoegeng masuk sebagai pengetahuan umum dalam proses pendidikan polisi.
“Memang tidak bisa sama persis, karena memang zamannya tidak mungkin sama. Tapi kharisma, sosok, pendirian, integritas, loyalitas itu harus kita ambil,” ujar Agung. [ns/rs]