Puluhan perempuan Afghanistan pada Minggu (5/12) memprotes pernyataan yang dikeluarkan Kepala Taliban Hibatullah Akhundzada yang melarang kawin paksa, dengan menegaskan bahwa ada isu-isu lain yang seharusnya juga disampaikan pemerintah Taliban.
“Pernyataan ini mengisyarakatkan bahwa persoalan yang kita hadapi hanya kawin paksa, padahal ini bukan satu-satunya persoalan. Saat ini kita kehilangan hak untuk bekerja dan belajar,” ujar aktivis perempuan Marja Ibrahimi.
Taliban pada Jumat (3/12) mengeluarkan pernyataan yang melarang kawin paksa perempuan di negara yang dikoyak perang itu, dalam apa yang tampaknya merupakan langkah untuk menjawab seruan negara-negara maju sebelum mengakui pemerintahan Taliban dan memulihkan bantuan.
Aturan itu tidak menyebut apakah anak perempuan akan diijinkan kembali bersekolah, atau apakah perempuan dapat kembali bekerja.
Saat ini anak perempuan yang berada di kelas 7 – 12 di seluruh Afghanistan tidak diizinkan bersekolah.
Langkah ini diumumkan Akhundzada seiring melonjaknya kemiskinan di Afghanistan pasca pengambilalihan negara itu pada 15 Agustus lalu dan mundurnya pasukan Amerika dan internasional, yang memicu negara-negara asing menangguhkan bantuan yang menjadi andalan untuk menggerakkan perekonomian.
Wartawan Afghanistan, Parwana Ibrahimkhail mengatakan mereka berharap pemimpin Taliban akan memusatkan perhatian pada lebih banyak isu yang menimbulkan dampak pada perempuan, seperti soal sekolah dan bekerja.
“Isu penting yang ingin kami dengar mereka jawab adalah apakah anak-anak perempuan dapat kembali bersekolah atau tidak, apakah perempuan dapat kembali bekerja, dan apakah perempuan dapat melakukan perjalanan sebagaimana juga laki-laki – tanpa ditemani saudara atau kerabat laki-laki mereka,” ujarnya.
Hak-hak perempuan kembali pulih dalam 20 tahun terakhir ketika pasukan internasional berada di Afghanistan. Keberlangsungan hak-hak perempuan ini dinilai terancam ketika Taliban kembali berkuasa. [em/jm]