Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama pemerintah akan segera membahas RUU TPKS setelah Rapat Paripurna DPR menetapkan RUU itu sebagai RUU inisiatif DPR.
"Kini tiba saatnya kami menanyakan kepada sidang dewan yang terhormat, apakah RUU unsul insiatif Badan legislasi DPR RI tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dapat disetujui menjadi RUU inisiatif DPR RI? Setuju?," kata Puan.
Dari sembilan fraksi yang ada di DPR, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) merupakan satu-satunya fraksi yang menolak mengesahkan itu sebagai RUU inisiatif DPR.
Juru Bicara PKS Kurniasih Mufidayanti mengatakan penolakan partainya tersebut bukan karena partainya tidak setuju dengan perlindungan atas korban kejahatan seksual, melainkan karena RUU TPKS tidak memasukkan semua bentuk tindak pidana kesusilaan yang meliputi kekerasan seksual, perzinaan dan penyimpangan seksual.
Padahal, kata Kurniasih, partainya memandang perzinaan dan penyimpangan seksual sebagai esensi penting bagi pencegahan dan perlindungan dari kekerasan seksual.
"Fraksi PKS mendukung terhadap upaya-upaya pemberatan pidana, termasuk pemberlakuan hukuman mati, bagi pelaku kejahatan seksual. Fraksi PKS juga sangat mendukung terhadap upaya-upaya penanganan, perlindungan, pemulihan terhadap korban kejahatan seksual," ujar Kurniasih.
Ketua Panitia Kerja Rancangan Undang-undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual sekaligus Wakil Ketua Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Willy Aditya menjelaskan rumusan pengaturan tindak pidana dalam RUU tersebut meliputi pelecehan non-fisik, pelecehan fisik, pelecehan seksual berbasis elektronik, pemaksaan kontrasepsi yang dapat menghilangkan fungsi reproduksi untuk sementara waktu dan tetap, serta eksploitasi seksual yang dilakukan oleh individu dan korporasi.
Aktivis perempuan dari LBH Apik, Ratna Bathara Munti, mengungkapkan aturan pidana dalam draf RUU TPKS yang disahkan oleh Badan legislasi DPR masih belum memasukkan lima bentuk pidana lainnya yakni pemaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual dan pemaksaan hubungan seksual.
Ratna berharap akan ada substansi yang ditambahkan dalam pembahasan RUU itu nantinya, termasuk di antaranya mekanisme satu atap dalam proses penegakan hukum dan pemulihan korban kekerasan seksual.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy meminta gubenur dan pemerintah daerah bekerja sama dalam melindungi korban kekerasan seksual.
"(Pemerintah) berkomitmen kuat untuk memerangi, mencegah kasus-kasus kejahatan seksual terutama yang terjadi pada anak. Kemudian dalam tiga tahun terakhir, yaitu 2018-2021, telah terjadi penurunan prevalensi kekerasan seksual sekitar 24 persen. Tetapi secara absolut jumlahnya masih besar," tutur Muhadjir.
Maraknya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan mendorong sejumlah organisasi perempuan menuntut agar RUU TPKS segera dibahas dan disahkan dengan segera. [fw/ab]