Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Nduga se Indonesia (IPMNI) menuntut komitmen pemerintah daerah, pemerintah pusat, TNI dan Polri untuk menciptakan keamanan di wilayah tersebut. Pernyataan sikap itu dibacakan di asrama Papua di Yogyakarta pada Sabtu (9/4).
Pernyataan serupa juga disampaikan oleh kelompok mahasiswa asal Papua di sejumlah kota seperti Makassar, Kupang dan Semarang.
Robert Gwijangge, juru bicara IPMNI di Yogyakarta, menyebut evakuasi kemanusiaan bagi pengungsi sangat dibutuhkan oleh wilayah tersebut saat ini.
“Pemerintah pusat Negara Republik Indonesia, Gubernur Provinsi Papua dan Pemerintah Kabupaten Nduga, segera melakukan evakuasi kemanusiaan terhadap 40 ribu-an pengungsi yang terjadi akibat konflik bersenjata antara TNI-Polri versus TPNPB Kodap III Ndugama semenjak 4 Desember 2018 yang hingga saat ini, tahun 2022 masih terus berlangsung,” kata Robert.
IPMNI juga menuntut Pemerintah Kabupaten Nduga, mulai dari bupati, sekretaris daerah, ketua DPRD dan seluruh jajarannya segera turun ke wilayah tersebut. Mereka harus mampu memberikan perlindungan serta memberikan kenyamanan bagi masyarakat sipil yang terancam oleh konflik yang sedang berlangsung.
IPMNI juga mendesak Pangdam Cenderawasih dan Kapolda Papua bertanggung jawab atas berbagai serangan yang menimbulkan korban masyarakat.
“Presiden Joko Widodo, segera menginstruksikan kepada Panglima TNI untuk tarik militer organik maupun non-organik dari Kabupaten Nduga, Puncak Jaya, Intan Jaya, Maybrat, Pegunungan Bintang dan seluruh teritori West Papua,” lanjut Robert.
IPMNI mencatat, konflik bersenjata di Nduga akibat operasi militer telah menghadirkan teror, intimidasi, penembakan brutal, pengeboman lewat udara, hingga pembakaran honai atau rumah warga di sejumlah wilayah di Nduga. Selain itu, terjadi pula pembakaran fasilitas umum, penghancuran rumah dan kantor-kantor seperti bangunan kantor distrik, puskesmas, gereja, sekolah dan rumah-rumah guru.
Dari sisi kemanusiaan, IPMNI menyatakan konflik telah melahirkan pengungsian besar-besaran. Sebanyak 13 distrik di Nduga, menurut catatan IPMNI, kini tidak berpenghuni lagi. Ada lebih dari 40 ribu pengungsi, yang kebanyakan dari mereka bertahan hidup di gunung dan hutan. Sementara sebagian lainnya pergi mengungsi ke wilayah lain seperti Kabupaten Wamena, Puncak, Nabire, Yahukimo, Lani Jaya, Timika, Jayapura dan wilayah sekitarnya.
IPMNI juga menyatakan, sampai saat ini tercatat sekurangnya 257 warga sipil meninggal, baik akibat sakit, kelaparan, maupun terbunuh oleh senjata. Kondisi Keneyam, Ibu Kota Nduga, sejak 26 Maret 2022 juga kian mencekam akibat kontak senjata kombatan TPNPB Kodap III Ndugama dan TNI-Polri yang menyebabkan korban sipil terus berjatuhan.
“Pemerintah Indonesia harus bertanggung jawab atas penembakan terhadap anak sekolah bernama Parunus Lokbere (16 tahun), dan warga lain Siu Karunggu (20 tahun), Elias Karunggu (35 tahun) dan Endrik Lokbere (28 tahun), dan banyak masyarakat Nduga yang menjadi korban lain dengan total 257 orang, sebagai dampak Operasi Militer TNI-Polri,” lanjut Robert terkait tuntutan mereka.
Layanan Masyarakat Terbatas
Yosekat K Kamarigi, petugas medis RSUD Elfrida Sara, Kabupaten Nduga kepada VOA mengatakan konflik membuat para petugas medis di lapangan mengalami keterbatasan dalam pelayanan kesehatan.
“Kami mau melayani masyarakat yang trauma, yang sakit, agak susah dengan keterbatasan alat medis kemudian obat obatan. Ada keluhan juga setelah gas-gas atau bahan-bahan kimia peledak bom itu membuat masyarakat punya mata itu pedih, kemudian kulit ada bintik-bintik,” kata Yosekat ketika dihubungi VOA, Selasa (12/4).
Situasi Keneyam, Ibu Lota Nduga, menurut Yosekat secara umum relatif aman. Namun, konflik bersenjata sering terjadi, terutama ketika serangan dari pihak TPNPB berlangsung. Terakhir, situasi mencekam berlangsung sejak awal April hingga sekitar tanggal 8 April. Dalam sejumlah serangan, TPNPB masuk ke wilayah perkotaan sehingga terjadi tembak menembak di tengah pemukiman warga.
Yosekat juga membenarkan, diperkirakan lebih dari 40 ribu warga masih mengungsi. Mereka adalah warga dari 11 distrik yang berada di luar ibu kota Nduga. Kawasan itu saat ini kosong, dan kebanyakan hanya berisi pos jaga milik TNI-Polri. Di distrik-distrik yang kosong itulah, pertempuran sering sekali terjadi selama empat tahun terakhir.
“Ini tempatnya di distrik atau kecamatan yang jauh dari ibu kota kabupaten, harus naik pesawat. Masyarakatnya mengungsi mencari aman di kota-kota kabupaten lain. Di Ibu Kota Nduga juga ada, meski mereka kini merasa tidak nyaman karena terjadi perang juga di kota,” lanjut Yosekat.
Para pengungsi yang masuk ke Ibu Kota Nduga, kini tinggal di rumah saudara mereka. Sebagian lainnya memutuskan untuk membangun pondok sendiri. Bantuan pemerintah daerah sama sekali tidak mencukupi. Hingga saat ini pula belum ada pergerakan dari pemerintah daerah untuk menangani sejumlah pengungsi yang timbul akibat konflik.
Salah satu situasi mencekam yang diceritakan Yosekat, bermula dari serangan TPNPB terhadap anggota TNI di sebuah sungai dekat Keneyam. Dua hari setelah serangan itu, TPNPB masuk ke kota untuk menyerang markas Koramil. Kontak senjata kemudian terjadi.
“Tetapi TNI ini tembaknya bukan terarah, tetapi warga. Sampai rumah warga jadi bolong-bolong. Padahal anggota TPNPB itu sudah kabur. Terakhir tanggal 5 April itu ada pemuda dapat tembak setelah charge HP main di depan rumah, yang nama Parunus Lokbere,” tambah Yosekat.
Parunus Lokbere tertembak pada 5 April 2022 pukul 21.00 WIT di Kampung Nogolaid, Distrik Keneyam, Kabupaten Nduga. Parunus sendiri adalah warga kampung Paris, Distrik Mbua Tengah. Kejadian bermula ketika Parunus usai mengisi daya telepon genggam, dan kemudian berjalan pulang bersama dua temannya. Dia tertembak ketika sedang bermain telepon genggam di depan honai. Peluru menembus kepala, dari bagian kiri ke sisi kanan. Parunus dimakamkan pada 7 April 2022 di ujung lapangan Bandara Keneyam, Nduga. [ns/rs]