Indonesia dan Malaysia, yang rutin termasuk di antara negara-negara yang memimpin dalam hilangnya wilayah hutan terbesar setiap tahun di dunia, sama-sama kehilangan lebih sedikit hutan primer dibandingkan dengan tahun sebelumnya untuk tahun kelima pada 2021, menurut data terbaru.
World Resource Institute (WRI) yang berbasis di AS dan merilis data terbaru mengenai hilangnya hutan global bulan lalu, menyebut negara-negara Asia Tenggara itu menyambut baik “pengecualian” dalam apa yang merupakan tahun suram bagi hutan di seluruh dunia. Namun, WRI dan pihak-pihak lain memperingatkan bahwa sejumlah kekuatan yang kian besar dapat menyebabkan hilangnya lagi wilayah hutan di kedua negara itu dalam beberapa tahun mendatang.
Menurut WRI, Indonesia kehilangan sekitar 203 ribu hektare hutan primer tahun lalu, turun dari 270 ribu hektare pada tahun sebelumnya, dan jauh di bawah puncaknya, 929 ribu hektare, yang tercatat pada 2016. Sementara itu hutan primer yang hilang di Malaysia turun dari sekitar 73 ribu hektare pada 2020 menjadi 72 ribu hektare tahun lalu.
Kehilangan ini jauh lebih sedikit dibandingkan dengan yang dialami Brazil, di mana 1,55 juta hektare hutan primer lenyap tahun lalu.
Hutan-hutan di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia, masih penting dalam perang global melawan perubahan iklim, kata Elizabeth Goldman, manajer riset senior WRI.
“Hutan menyimpan dan menyerap karbon, dan ketika hutan-hutan ini ditebang atau dibakar atau terdegradasi, maka karbon yang tersimpan di dalam hutan – di kayu, daun dan semua biomassa – dapat dilepaskan ke atmosfer sebagai emisi. Dan Indonesia masih memiliki banyak hutan primer yang lembab … Indonesia memiliki hutan primer terbesar ketiga … di kawasan tropis,” katanya kepada VOA.
Hutan hujan primer di kawasan tropis, hutan tua yang sebagian besar tak tersentuh oleh aktivitas manusia, adalah sebagian di antara ekosistem paling kaya karbon dan keanekaragaman hayati di dunia.
Itu sebabnya mengapa berkurangnya wilayah hutan yang lenyap di Indonesia dan Malaysia sangat membesarkan hati, kata Goldman, bukan hanya bagi mereka, tetapi sebagai teladan bagi negara-negara lain.
“Ketika sebuah negara melihat hilangnya wilayah hutan berkurang selama satu atau dua tahun, kami selalu merasa optimistis dengan berhati-hati, karena dapat saja ada fluktuasi data. Tetapi penurunan lima tahun berturutan menurut saya merupakan alasan untuk merayakannya dan menunjukkan bahwa segala sesuatunya berjalan baik, terutama di Indonesia,” lanjutnya.
WRI mengaitkan gabungan antara kebijakan pemerintah dan komitmen perusahaan atas keberhasilan yang diraih Indonesia dan Malaysia.
Indonesia telah memiliki moratorium mengenai pembersihan hutan primer sejak 2011, membuatnya permanen pada tahun 2019, dan satu lagi mengenai penerbitan izin baru bagi perkebunan sawit sejak 2018. Dengan taktik yang berbeda, Malaysia pada 2019 berkomitmen untuk membersihkan tidak lebih dari 600 ribu hektare hutan sawit hingga tahun 2023 untuk memperlambat hilangnya wilayah hutannya.
Indonesia dan Malaysia masing-masing adalah produsen terbesar dan terbesar kedua minyak sawit, dan bersama-sama mengisi 85% pasokan minyak sawit dunia yang digunakan untuk berbagai hal, mulai dari mi instan hingga kosmetik dan bahan bakar hayati. Perkebunan sawit di kedua negara ini juga menjadi penyebab hilangnya sebagian besar wilayah hutan mereka. [uh/ab]