Presiden Joko Widodo mengatakan dunia pada saat ini berada dalam kondisi yang tidak normal. Belum pulih akibat pandemi COVID-19, dunia kembali dihadapkan pada permasalahan geopolitik yang menyebabkan krisis pangan dan energi sehingga inflasi di berbagai negara melambung tinggi.
“Momok semua negara sekarang ini adalah inflasi. Coba lihat sekarang inflasi kita tadi 4,94 persen. Lihat negara-negara lain, coba tinggi-tinggi banget sudah, di atas lima persen, ada yang sudah di angka 79 persen, Uni Eropa sudah 8,9 persen, Amerika sudah 8,5 persen, Bukan sesuatu yang mu.dah dan ini menjadi momok semua negara,” ungkap Jokowi dalam Acara Pembukaan Rakornas Pengendalian Inflasi Tahun 2022, di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (18/8).
Meski cukup sulit, Jokowi meyakini kerja sama dengan berbagai pihak seperti Tim Pengendali Inflasi Pusat (TPIP), Tim Pengendali Inflasi Daerah (TIPD) dan stakeholder terkait, inflasi akan terkendali dalam beberapa waktu ke depan.
“Tapi saya menyakini kalau kerja sama yang tadi saya sampaikan provinsi, kabupaten/kota, gubernur, bupati, walikota, TPID, TPIP semuanya bekerja, pasti rampung, selesai untuk mengembalikan lagi ke angka di bawah tiga persen. Kita barangnya juga ada,” tuturnya.
Ia mencontohkan produksi beras nasional yang saat ini stoknya memadai. Daerah yang kekurangan beras nantinya bisa dikirim oleh daerah yang kelebihan produksi beras. Strategi serupa bisa dilakukan untuk pangan lainnya, sehingga kebutuhan masyarakat akan tercukupi.
Terkait biaya logistik yang dikeluhkan cukup tinggi, ia telah mengintruksikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk mengeluarkan Surat Edaran yang menyatakan anggaran tidak terduga di setiap daerah bisa digunakan untuk menyelesaikan permasalahan inflasi di daerah.
Jokowi menjelaskan, sejauh ini ada lima provinsi yang angka inflasinya berada di atas lima persen, yakni Jambi (8,55 persen), Sumatera Barat (8,01 persen), Bangka Belitung (7,77 persen), Riau (7.04 persen) dan Aceh (6,9 persen). Ia pun menginstruksikan kepada kepala daerah tersebut untuk segera mengidentifikasi penyebab tingginya inflasi di daerahnya.
Dalam kesempatan ini, Jokowi juga menuturkan angka inflasi yang di bawah lima persen ini semata-mata karena besarnya subsidi energi yang digelontorkan oleh pemerintah hingga Rp502 triliun.
Jika tekanan global semakin buruk, ia tidak yakin anggaran negara akan cukup untuk menahan harga energi lewat subsidi yang lebih besar lagi ke depannya.
“Kita semuanya harus melihat, angka-angka inflasi, karena angka inflasi yang berada di angka 4,94 persen tadi itu masih didukung oleh ketidaknaikan harga BBM kita. Pertalite, pertamax, solar, elpiji, listrik, itu bukan harga yang sebenarnya, bukan harga keekonomian. Itu harga yang disubsidi oleh pemerintah yang besarnya hitung-hitungan kita di tahun ini subsidinya Rp502 triliun. angkanya gede sekali. Ini yang harus kita tahu, untuk menahan agar inflasinya tidak tinggi. tapi apakah terus APBN akan kuat? Ya nanti akan dihitung oleh Menkeu,” tegasnya.
Harga Pangan Sudah Mulai Terkendali
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan selain mempertahankan harga energi, pemerintah juga melakukan strategi lain agar inflasi tidak melambung lebih tinggi lagi, yakni dengan bekerja sama dengan pemerintah daerah melakukan stabilisasi harga pangan. Ia pun mengklaim, saat ini harga-harga tersebut sudah perlahan menurun.
“Harga-harga pangan relatif terkendali, baik itu beras yang angkanya sedikit di atas Rp10ribu. Demikian pula harga-harga daging sapi, kemudian daging ayam, relatif melandai, demikian pula bawang merah, bawang putih, cabe merah dan gula pasir,” ujar Airlangga.
Pemerintah lewat Bulog juga telah menjaga ketersediaan cadangan beras nasional hingga mencapai 1 juta-1,5 juta ton. Selain itu, pihaknya juga telah mendorong Kredit Usaha Rakyat (KUR) pertanian yang plafonnya meningkat hingga Rp90 triliun.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengungkapkan dengan berbagai kerja sama ini, dalam beberapa waktu ke depan inflasi pangan yang naik hingga 11,47 persen akan bergerak turun ke 5 hingga 6 persen. Menurutnya, hal ini penting agar daya beli masyarakat tetap terjaga dengan baik.
“Dalam gerakan ini , ada operasi untuk ketersediaan makanan, kerja sama antar daerah dari yang surplus ke yang defisit supaya memang betul-betul arus barang bisa teratasi, kemudian juga penggunaan anggaran di daerah, anggaran darurat sehingga ini gerakan ini betul-betul penguatan sinergi agar inflasi terkendali. Insya Allah dalam bulan yang akan datang inflasi pangan terkedanli,” kata Perry.
Ruang Fiskal Penambahan Subsidi BBM
Ekonom CORE Indonesia Muhammad Faisal mengatakan langkah pemerintah untuk menahan harga energi memang sangat dibutuhkan agar inflasi di tanah air tidak melambung tinggi.
Apalagi, inflasi pada tahun ini kebanyakan dipengaruhi oleh faktor eksternal yang tentunya tidak bisa dikontrol oleh pemerintah. Menurutnya, dari sisi dalam negeri, pemerintah bisa mengontrol dengan melakukan peningkatan produksi pangan dan menjaga kelancaran distribusi pangan tersebut ke berbagai daerah.
“Jadi dalam konteks tahun ini, pengendalian harga BBM menjadi sangat penting sekali untuk pengendalian inflasi, karena faktor global. Sementara di dalam negeri harus dikontrol produksi dan distribusi. Tapi itu dampaknya kecil untuk pengendalian inflasi tahun ini, karena tekanan yang besar itu dari global. Jadi memang menurut saya ini satu langkah yang paling tidak dalam jangka pendek harus dilakukan,” kata Faisal kepada VOA.
Ia menambahkan, dari sisi fiskal pemerintah masih bisa menambah jumlah subsidi energi. Halini, katany, daptr dilakukan karena adanya keuntungan akibat melambungnya harga komoditas dan surplus neraca perdagangan APBN pada tahun ini.
“(Target) Defisitnya kan 4,5 persen terhadap PDB, nah sekarang perkiraan pemerintah dengan tambahan profit dari harga komoditas, sebetulnya defisitnya hanya 3,9 persen, jadi jauh di bawah target. Artinya ada ruang kalaupun mau menambah subsidi supaya dia cukup sampai akhir tahun yang BBM subsidinya, supaya tidak jebol kuotanya. Katakanlah kasarnya tambah Rp50 triliun, sehingga defisit APBN akan naik dari 3,9 persen jadi 4,1 persen. Itupun masih di bawah target 4,5 persen. Apalagi dibandingkan target defisit yang awal 4,85 persen,” jelasnya.
Meski begitu, Faisal memperingatkan pemerintah untuk tidak menggelar strategi menahan harga energi untuk jangka panjang, karena belum tentu kondisi fiskal pada tahun depan akan cukup sehat untuk merealisasikannya.
“Pendekatannya agar pengendalian inflasi ke depan terutama dari sisi BBM harus ada pengendalian dari BBM bersubsidi supaya tidak besar, supaya tidak jebol (kuotanya) dan yang mendapatkan subsidi itu memang yang berhak. Selama ini banyak yang tidak berhak pakai, jadi pengendaliian nya itu yang harus dicari dan diperbaiki untuk supaya tidak jebol terus dari sisi fiskal,” pungkasnya. [gi/ab]
Forum