Krisis politik dan aksi kekerasan masih terus menyelimuti Myanmar sejak kudeta militer 1 Februari 2021 lalu. Berbagai upaya ASEAN untuk turut menyelesaikan persoalan di Myanmar, termasuk dengan mengeluarkan lima poin konsensus pada April 2021, seakan jalan ditempat. Junta militer Myanmar tidak merespon secara baik lima poin konsesus yang dihasilkan para pemimpin ASEAN, yang mencakup: dialog konstruktif, penghentian kekerasan, mediasi antara berbagai pihak, pemberian bantuan kemanusiaan, dan pengiriman delegasi ASEAN ke Myanmar.
Banyak pihak berharap Indonesia, yang akan mengambil alih kepemimpinan ASEAN pada tahun 2023 mendatang, dapat melakukan terobosan terkait penyelesaian persoalan di Myanmar. Salah satu diantaranya seruan Dewan Penasehat “Progressive Voice Myanmar” Khin Ohmar agar Indonesia dalam kapasitas sebagai ketua ASEAN bersedia mengakui pemerintahan junta militer Myanmar agar mereka mau duduk bersama untuk mencari solusi.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah kepada VOA, Selasa (8/11) mengatakan Indonesia sejauh ini tetap konsisten tidak mendukung pemerintahan junta di Myanmar. Sebagai negara demokratis tambahnya, Indonesia tidak dapat menerima dan tidak akan mendukung pemerintahan yang muncul tanpa melalui proses yang legal, apalagi melalui proses kudeta.
"Selama ini posisi kita sangat jelas. Bahkan untuk pertemuan-pertemuan ASEAN kita tidak menghendaki perwakilan politik yang duduk dalam pertemuan tersebut. Perwakilan politik kan identik dengan junta. Jadi yang selalu kita kedepankan adalah kehadiran pada level birokrat," kata Faizasyah.
Ketika ditanya tentang sanksi bagi Myanmar, Faizasyah mengatakan Indonesia melihat sanksi bukan instrumen diplomasi yang efektif untuk menyelesaikan suatu masalah. Pemberlakuan sanksi, ujarnya, justru akan lebih berdampak terhadap rakyat Myanmar, bukan pihak junta.
Isu Myanmar merupakan salah satu fokus dalam konferensi tingkat tinggi (KTT) ASEAN yang akan berlangsung pekan ini di Ibu Kota Pnom Penh, Kamboja.
Faizasyah mengatakan para pemimpin ASEAN akan membuat keputusan tentang Myanmar berdasarkan hasil rekomendasi dari pertemuan para menteri luar negeri ASEAN di Jakarta akhir bulan lalu, yang secara khusus membahas masalah Myanmar. Hasil keputusan soal Myanmar di KTT ASEAN itulah yang akan menjadi pegangan Indonesia selama menjadi Ketua ASEAN tahun depan.
ASEAN Masih Belum Satu Suara
Pandu Prayoga yang merupakan pengamat ASEAN dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menilai negara-negara ASEAN masih berbeda pendapat mengenai perlu tidaknya mengakui junta sebagai pemerintahan yang sah di Myanmar. Ada negara yang menganggap posisi junta di Myanmar tidak bisa digoyang sehingga mau tidak mau harus ada pengakuan atas pemerintahan junta. Untuk itu, ujar Pandu, pemerintah harus sangat hati-hati.
"Di satu sisi kita ingin (krisis Myanmar) selesai, sudah berlarut-larut kan. Ketika kita mengakui junta, saya risikonya juga besar. Artinya kita mengakui pemerintah yang telah banyak membunuh rakyatnya ini, kita melegitimasi," ujar Pandu.
Pandu menyakini sebagai Ketua ASEAN tahun depan, Indonesia akan memaksimalkan kembali pelaksanaan lima poin konsensus. Indonesia, lanjutnya, harus mengundang berbagai pihak, bukan hanya junta militer sebagaimana yang dilakukan Kamboja, tetapi juga pihak oposisi yang menentang pemerintahan junta. Kedua pihak sedinya bersama untuk menghentikan kekerasan, tambah Pandu.
Indonesia sebagai Ketua ASEAN nantinya juga dapat menggunakan berbagai elemen diplomasi, seperti militer, untuk turut serta dalam berdiplomasi dengan junta yang juga militer.
Strategi lain yang dapat dilakukan, ujar Pandu, adalah dengan sama sekali tidak mengundang Myanmar hingga negara itu mau membuka diri dan berdiplomasi. Menurutnya junta militer Myanmar tidak mau melaksanakan lima poin konsensus ASEAN karena khawatir dengan adanya intervensi dari negara lain yang akan merugikan posisinya.
Masalah Mengakar di Myanmar
Diwawancarai secara terpisah, pengamat hubungan internasional di Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Andrew Mantong menilai krisis Myanmar tidak akan dapat selesai dalam satu tahun periode kepemimpinan Indonesia di ASEAN. Ini dikarenakan adanya masalah yang sudah mengakar di negeri Gajah Putih itu.
"Bukan hanya kegagalan demokrasi, tapi juga ada masalah antar elemen pembentuk bangsanya. Jadi ada hubungan antar etnis yang bermasalah, ada masalah bangsa dan pembentukan bangsa yang belum selesai dan itu tidak mungkin selesai dalam waktu satu tahun," ujar Andrew.
Ditambahkannya, jika masih ingin melanjutkan lima poin consensus yang dihasilkan April 2021 lalu, maka harus ada terobosan baru. Ini dikarenakan di dalam ASEAN sendiri masih ada ketidakjelasan soal bagaimana menerapkannya dan sumber daya yang dapat dimobilisasi. Ironisnya, junta militer Myanmar tahu persis tidak akan ada konsekuensi terhadap mereka jika tidak melaksanakan lima poin konsensus itu. Padahal ASEAN dapat saja membekukan keanggotaan negara berpenduduk hampir 55 juta jiwa itu.
Seruan Aktivis
Sejumlah aktivis Justice For Myanmar menyerukan ASEAN agar mencabut posisi junta Myanmar sebagai ketua konferensi kepala angkatan udara ASEAN dan ketua bersama kelompok kontra terorisme di ASEAN Defense Ministers Meeting (ADMM). ASEAN juga diminta mengendalikan situs kelompok kerja kontra terorisme dari junta dan mengecualikan junta dari semua pertemuan dan kegiatan ASEAN.
Tuntutan Justice For Myanmar yang lain adalah mengakui dan mendukung junta militer sebagai pemerintah sah di Myanmar sehingga kemudian dapat diambil tindakan nyata untuk mengakhiri kekerasan militer. Justice for Myanmar juga meminta ASEAN bekerja sama dengan negara-negara anggota PBB untuk memberlakukan embargo senjata global terhadap Myanmar serta membawa situasi di negara tersebut ke Pengadilan Kriminal Internasional melalui Dewan Keamanan PBB.
[fw/em]
Forum