Paus Fransiskus mengakhiri lawatannya ke Republik Demokratik Kongo (DRC) pada hari Jumat (3/2) dan menuju ke negara tetangga, Sudan Selatan, negara yang juga berjuang keras mengatasi konflik puluhan tahun dan kemiskinan yang parah.
Kesengsaraan negara itu terlihat jelas pada malam menjelang kedatangannya, sewaktu 27 orang tewas di negara bagian Central Equatoria dalam kekerasan antara penggembala ternak dan milisi setempat
Paus Fransiskus dijadwalkan tiba pada Jumat (3/2) dari Kongo, dengan harapan dapat mendorong proses perdamaian untuk mengakhiri konflik yang terjadi hampir sepanjang satu dekade ini.
Paus berusia 86 tahun ini, yang sedang dalam lawatan ketiga ke kawasan sub-Sahara Afrika sejak masa kepausannya dimulai pada 2013, mendapat sambutan meriah dari banyak orang di ibu kota Kinshasa namun ia juga menghadapi kenyataan akan perang, kemiskinan dan kelaparan.
Hari Rabu (1/2), ia mendengar cerita mengerikan dari para korban konflik di Kongo Timur yang telah menyaksikan pembunuhan kerabat dekat mereka dan menjadi sasaran perbudakan seksual, amputasi dan kanibalisme paksa.
Paus mengecam kekejaman itu sebagai kejahatan perang dan mengimbau semua pihak, di dalam dan luar negeri, yang mengatur perang di Kongo untuk menjarah sumber daya mineral yang sangat besar di negara itu agar berhenti mendapatkan kekayaan dengan “uang yang berlumuran darah.”
Kongo Timur telah puluhan tahun dilanda konflik yang sebagian disebabkan oleh upaya perebutan kekuasaan atas tambang berlian, emas dan logam berharga lainnya antara pemerintah, pemberontak dan penyerbu asing. Imbas serta dampak berkepanjangan dari genosida di negara tetangga, Rwanda, pada tahun 1994, juga memicu kekerasan.
Fransiskus kembali lagi ke tema konflik yang dipicu oleh “racun keserakahan,” dengan mengatakan bahwa rakyat Kongo dan dunia harus menyadari bahwa orang-orang lebih berharga daripada mineral yang ada di bumi di bawah mereka.
Setelah pertemuan dengan para uskup Kongo di Kinshasa pada Jumat (3/2) pagi dan upacara perpisahan di bandara, pesawatnya dijadwalkan segera menuju Juba, Ibu Kota Sudan Selatan. Selama kunjungan di Sudan Selatan, ia akan disertai oleh Uskup Agung Canterbury Justin Welby, pemimpin gereja Anglikan global, serta pemimpin gereja Skotlandia, Iain Greenshields. Ini adalah lawatan asing bersama pertama ketiga pemimpin Kristen itu, yang menyebutnya sebagai “ziarah perdamaian.”
Fransiskus telah bertahun-tahun ingin mengunjungi Sudan Selatan yang mayoritas penduduknya Kristen itu. Namun, setiap kali rencananya akan dimulai, lawatannya harus ditunda karena instabilitas di lapangan. [uh/ab]
Forum