Mantan kepala bagian operasi (kabag ops )Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto dan mantan kepala satuan (Kasat) Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi -- keduanya terdakwa tragedi Kanjuruhan --menyambut gembira putusan bebas oleh Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya, Abu Achmad Sidqi Amsya.
Putusan ini jauh dari tuntutan jaksa, yakni tiga tahun penjara. Sebelumnya Danki 1 Brimob Polda Jatim, AKP Hasdarmawan divonis 1 tahun dan 6 bulan penjara pada persidangan sebelumnya.
Putusan hakim itu sangat disayangkan Rini Hanifah, ibu dari Agus Riansyah (20 tahun), korban meninggal pada tragedi Kanjuruhan. Warga Pasuruan itu mengaku sangat kecewa atas hukuman ringan dan vonis bebas dari hakim. Tuntutan serta harapan keluarga korban kepada lembaga peradilan pupus, dengan putusan yang jauh dari harapan Rini dan keluarga korban yang lain.
“Ya sangat kecewanya begini, kita sudah tidak bisa menghadiri persidangan karena keadaan jarak, setelah itu terdakwa hukumannya segitu. Lalu kita mengajukan restitusi juga tidak dibacakan di persidangan. Terus bagaimana ini, masa ini hukum Indonesia seperti ini," ujar Rini.
Kekecewaan juga dirasakan Wiyanto, ayah dari Septian Ragil Saputra (21 Tahun). Warga Kabupaten Malang ini mengaku hanya bisa pasrah dengan putusan hakim yang dianggap tidak menggunakan hati nurani.
“Saya ini keluarga korban kecewa sekali dengan hasil selama ini yang tidak memenuhi harapan. Kecewa sekali saya. Semua seperti ada yang nyeting (mengatur), masa hukuman menghilangkan nyawa 135 orang ada yang dibebaskan, hukuman satu tahun setengah," keluh Wiyanto.
"Ya kita bisanya pasrah di hadapan Tuhan, pasrah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Tidak ada pilihan lain, karena keadilan hukum di sini sepertinya sudah bisa diatur. Jadi kita sudah pasrah.”
Sekretaris Jenderal Federasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS), Andy Irfan Junaidi, mengatakan putusan hakim yang membebaskan dua perwira polisi atas tragedi Kanjuruhan, menunjukkan fakta adanya praktik peradilan sesat. Hal ini karena lembaga peradilan tidak mampu memberikan rasa keadilan dengan menghukum pelaku yang bertanggung jawab sesuai hukum yang berlaku.
Andy menyebut beberapa kejanggalan yang ditemukan selama persidangan, antara lain tidak dapat menjawab siapa yang bersalah dalam tragedi kemanusiaan ini.
“Jadinya ada orang ratusan mati tapi tidak jelas siapa yang dipersalahkan. Ratusan orang yang mati tapi orang yang dianggap bertanggung jawab dan diputus bersalah hanya satu orang, (yaitu) Danki (Komandan Kompi) yang dia mengepalai hanya sejumlah personel Brimob, yang kedudukannya ada di wilayah selatan. Padahal yang menembak banyak personel Brimob, dan ada 8 komandan, Danki, yang berada di dalam stadion waktu itu," kata Andy.
Atas putusan hakim yang dianggap tidak adil, Andy Irfan dan sejumlah pihak yang mendampingi keluarga korban tragedi Kanjuruhan, akan melaporkan sejumlah temuan kecerobohan dan kejanggalan hakim kepada Komisi Yudisial.
Laporan yang disampaikan juga terkait materi substansi dari proses peradilan yang mengarah pada putusan yang mengabaikan prinsip-prinsip imparsialitas, yang seharusnya dijaga kuat oleh hakim.
KontraS, kata Andy, juga akan membuat laporan ke Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia (Komnas HAM), terkait dugaan pelanggaran HAM berat, yang ditemukan dalam fakta peradilan khususnya menyangkut tanggung jawab dan tindakan sistematis sesuai sistem komando di kepolisian. Serta akan melakukan langkah eksaminasi publik, untuk menguji putusan hakim kasus Kanjuruhan apakah sudah memenuhi akuntabilitas hukum.
“Di persidangan itu terungkap banyak fakta, bahwa tindakan menembakan gas air mata itu bukan suatu tindak kelalaian, tapi tindak kesengajaan. Ada perintah di sana, dan ada prosedur yang dilaksanakan secara sistematis oleh polisi.” [pr/ft]
Forum