Pakar menyerukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk segera mengamandemen Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 pasca putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan aturan soal perhitungan keterwakilan 30 persen perempuan dalam daftar calon legislatif (caleg).
Pengajar Hukum Pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menilai putusan MA tersebut merupakan kabar gembira bagi gerakan perempuan politik di Tanah Air, di tengah melemahnya komitmen afirmasi di lembaga penyelenggara pemilu.
“Keputusan ini melegakan di tengah narasi KPU yang terlalu banyak ‘akrobat,’ membenarkan kebijakan mereka yang salah kaprah dan sangat memundurkan keterwakilan perempuan, serta menjauhkan Indonesia dari pemilu inklusif,” ujar Titi kepada VOA, Kamis (31/8).
Titi Anggraini merupakan salah satu pemohon uji materi Pasal 8 ayat (2) PKPU Nomor 10/2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten Kota. Selain Titi, pemohon uji materi lainnya adalah Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Koalisi Perempuan Indonesia, Hadar Nafis Gumay dan Wahidah Suaib.
MA, lanjut Titi, meneguhkan kembali soal konstitusionalitas dan kepatuhan pada kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan dalam pencalonan Pemilu DPR dan DPRD. KPU, lanjut, Titi seharusnya berbenah dan serius mengevaluasi diri usai munculnya putusan MA tersebut.
“Ternyata, terbukti sekarang bahwa justru banyak dalih KPU soal pembulatan desimal ke bawah dengan alasan rumus matematika internasional adalah tidak relevan bagi pengaturan kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan dalam pencalonan pemilu anggota DPR dan DPRD,” kata Titi.
Sebelumnya, MA mengabulkan seluruh permohonan pengujian Pasal 8 ayat (2) PKPU No 10/2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang mengatur pembulatan ke bawah, jika hasil perhitungan 30 persen dari jumlah alokasi kursi menghasilkan angka desimal kurang dari koma lima.
Sebagai contoh, jika di suatu dapil terdapat delapan caleg, jumlah 30 persen keterwakilan perempuannya adalah 2,4. Karena angka di belakang desimal kurang dari 5, maka berlaku pembulatan ke bawah. Akibatnya, keterwakilan perempuan dari total delapan caleg di dapil itu cukup hanya dua orang dan itu dianggap sudah memenuhi syarat.
Padahal, dua dari delapan caleg setara 25 persen saja, yang artinya belum memenuhi ambang minimum keterwakilan perempuan 30 persen sebagaimana dipersyaratkan Pasal 245 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Dari data daftar calon sementara anggota DPR, DPRD Provinsi, Kabupaten Kota yang telah diumumkan oleh KPU, Titi juga menilai partai politik di sejumlah daerah pemilihan (dapil) masih ada yang mengajukan daftar caleg yang keterwakilan perempuannya kurang dari ketentuan paling sedikit 30 persen, misalnya dapil DPR untuk Bengkulu.
“Oleh karena itu, KPU mestinya segera meminta partai politik melakukan perbaikan. Waktu masih tersedia mengingat penetapan Daftar Calon Tetap (DCT) baru akan dilakukan pada 3 November 2024. Partai juga harus patuh pada putusan MA ini dan segera menyesuaikan daftar calegnya sehingga memuat keterwakilan perempuan sebagaimana ketentuan yang ada,” lanjut Titi.
Sementara itu, Ketua KPU Hasyim Asy’ari mengatakan lembaganya akan mengecek terlebih dahulu terkait putusan MA tersebut. “Itu cara hitungnya berarti dianggap salah. Nanti kita sesuaikan,” ujar Hasyim.
Hingga saat ini KPU, lanjutnya, belum menerima salinan putusan MA tersebut
Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, mantan anggota Dewan perwakilan Rakyat (DPR), menyebutkan tantangan yang dihadapi perempuan jika ingin maju sebagai calon legislatif yaitu sistem politiknya, budaya yang masih sangat patriarki dan ekonomi.
“Banyak perempuan yang mempunyai kapasitas intelektual, belum tentu mereka punya kapasitas secara finansial, apalagi kalau sistem terbuka untuk maju. Karena artinya harus berhadapan dengan mereka yang “uangnya tidak berseri” apalagi kalau maju di masyarakat mungkin money politic-nya masih menjadi status quo,”ungkap Rahayu.
Mencari caleg perempuan masih menjadi pekerjaan rumah yang besar, dan sedianya peraturan KPU tidak bertentangan dengan undang-undang yang mewajibkan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen di lembaga legislatif, tambah Sarah. Keterwakilan perempuan ini, katanya, dinilai sangat penting untuk memberikan perspektif perempuan dalam membuat perundang-undangan. [fw/ah]
Forum