Tautan-tautan Akses

Pakar Nilai Investasi China Tak Pengaruhi Sikap Tegas RI Terkait Laut China Selatan 


Presiden Joko Widodo didampingi Sekretaris Kabinet Pramono Anung, KSAL Laksamana Ade Supandi, dan Menko Polhukam Luhut Pandjaitan, Panglima TNI Gatot Nurmantyo dan Gubernur Kepri Nurdin Basirun, berada di KRI Imam Bonjol di perairan Natuna, 23 Juni 2016. (Foto: Agus Suparto/AP)
Presiden Joko Widodo didampingi Sekretaris Kabinet Pramono Anung, KSAL Laksamana Ade Supandi, dan Menko Polhukam Luhut Pandjaitan, Panglima TNI Gatot Nurmantyo dan Gubernur Kepri Nurdin Basirun, berada di KRI Imam Bonjol di perairan Natuna, 23 Juni 2016. (Foto: Agus Suparto/AP)

Para pakar menilai Pemerintah Indonesia cukup konsisten dan tegas menolak klaim wilayah China di Laut China Selatan, meski Indonesia mempunyai hubungan ekonomi dan investasi yang dekat dengan China.

Pengamat hukum internasional Profesor Hikmahanto Juwana menjelaskan bahwa bila ada kepentingan, China — layaknya seperti Amerika Serikat (AS) dan negara-negara besar lain — kerap menggunakan instrumen finansial dan ekonomi. Misalnya, dengan instrumen utang.

Karena pada prinsipnya, kata Rektor Universitas Jenderal Ahmad Yani di Cimahi, Jawa Barat itu, semakin suatu negara bergantung secara ekonomi terhadap negara lain, maka negara itu akan rentan untuk diintervensi.

“Pemerintah Indonesia dalam posisi tidak mengakui 9 atau sekarang 10 garis putus itu, tetapi kita juga melakukan inisiatif-inisiatif agar tidak akan terjadi perang buka. Nah, Pemerintah Indonesia juga paham bahwa kita ini juga banyak tergantung sama China ya, terutama dari segi ekonomi,” kata Guru Besar Hukum Internasional di Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang akrab dipanggil Profesor Hik.

Hikmahanto memaparkan hal itu dalam dengan tema "Peta Baru China dan Ketegangan di Perairan Asia Tenggara" yang digelar oleh Forum Sinologi Indonesia (FSI) di Jakarta, Kamis (28/9).

Pakar Hukum Internasional Profesor Hikmahanto Juwana (kiri), Ketua Forum Sinologi (FSI) Johanes Herlijanto (tengah) dan Sekretaris FSI Muhammad Farid (kanan) dalam diskusi tentang peta baru China di Jakarta, 28 September 2023. (Foto: Forum Sinologi)
Pakar Hukum Internasional Profesor Hikmahanto Juwana (kiri), Ketua Forum Sinologi (FSI) Johanes Herlijanto (tengah) dan Sekretaris FSI Muhammad Farid (kanan) dalam diskusi tentang peta baru China di Jakarta, 28 September 2023. (Foto: Forum Sinologi)

Sekadar mengingatkan, akhir Agustus lalu, China merilis peta standar baru 2023 memperluas klaim wilayah di Laut China Selatan menjadi 10 garis putus dari sebelumnya sembilan garis putus. Peta baru itu membuat marah Malaysia, Filipina, Brunei, dan Vietnam. Taiwan juga mencak-mencak dengan peta baru China itu karena memasukkan bagian selatan pulau yang diperintah secara demokratis itu.

Sedangkan Indonesia, meski tak menghadapi tumpah-tindih klaim kedaulatan seperti kelima negara tadi, sepuluh garis putus China tetap menerabas hak berdaulat Indonesia di zona ekonomi eksklusif (ZEE), yaitu di perairan Natuna Utara. Hal itu sering memicu ketegangan antara kedua negara karena kapal-kapal ikan China kerap memasuki perairan Natuna Utara

Konsistensi dalam tiga hal

Hikmahanto menilai konsistensi sikap Pemerintah Indonesia terhadap klaim atas Laut China Selatan terlihat dari tiga hal.

Pertama, penegakan hukum terhadap nelayan-nelayan China yang memasuki ZEE Indonesia untuk mengambil sumber daya laut. Kedua, terus mengabaikan protes China atas upaya Indonesia untuk mengeksploitasi kekayaan alam di wilayah ZEE.

Terakhir, Pemerintah Indonesia tidak pernah menginisiasi perundingan untuk wilayah yang tumpang tindih.

KRI Imam Bonjol-363 (kiri) menahan kapal nelayan China di perairan Natuna, 21 Juni 2016. (Foto: TNI AL via AFP)
KRI Imam Bonjol-363 (kiri) menahan kapal nelayan China di perairan Natuna, 21 Juni 2016. (Foto: TNI AL via AFP)

Lebih lanjut, Hikmahanto memuji ketegasan pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam menghadapi klaim China di wilayah Laut China Selatan, meski Indonesia bergantung secara ekonomi pada China.

“Tidak masalah banyak investor China datang ke Indonesia. Kita punya utang ke China, tapi kalau masalah kedaulatan atau hak berdaulat, kita harus tegas. Ya, semua negara adalah sahabat kita sampai kapan? Sampai kepentingan kita terganggu. Kita harus tegas,” ujar Hikmahanto.

Merujuk data Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), China berada di peringkat kedua realisasi investasi penanaman modal asing pada semester I 2023, sebesar 3,8 miliar dollar AS.

Data Bank Indonesia menunjukkan, China berada di peringkat keempat negara pemberi utang luar negeri Indonesia terbesar setelah Singapura, Amerika Serikat (AS) dan Jepang, pada paruh pertama 2023 dan setidaknya dalam dua tahun terakhir.

Johanes Herlijanto, pendiri dan Ketua Forum Sinologi, memperkirakan pemerintahan baru hasil pemilihan umum 2024 masih akan sangat terbuka untuk investasi dan hubungan ekonomi dengan China.

Apalagi, hubungan ekonomi yang lebih erat antara kedua negara sudah terjalin lama sejak Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden keempat Indonesia, pada 1999 mencairkan kembali hubungan diplomatik yang sempat beku selama masa Orde Baru.

"(Indonesia-China) masih akan tetap memiliki hubungan ekonomi yang tidak buruk, sejauh China tidak keterlaluan terhadap kita," ujar Herlijanto.

Kapal perang dan pesawat tempur Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA) berpartisipasi dalam unjuk kekuatan militer di Laut China Selatan, 12 April 2018. (Foto: Reuters)
Kapal perang dan pesawat tempur Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA) berpartisipasi dalam unjuk kekuatan militer di Laut China Selatan, 12 April 2018. (Foto: Reuters)

Makin agresif

Terkait peta baru China, Hikmahanto mengingatkan agar pemerintah tetap konsisten mempertahankan kehadiran fisik di ZEE Indonesia di perairan Natuna. Pasalnya, menurut Hikmahanto, perilisan peta baru itu menunjukkan China makin agresif dengan klaim di wilayah Laut China Selatan.

“Dalam konteks hukum internasional kalau kita mengklaim wilayah itu tidak cukup dengan di peta, tapi harus nyata, harus hadir di sana. Kalau kita cuma mengklaim di peta, tetapi kita tidak hadir, berarti kita mau tidak meneruskan klaim,” ujar Hikmahanto.

Dia mengusulkan Pemerintah Indonesia bisa memberi bantuan agar nelayan-nelayan di perairan Natuna bisa membeli kapal besar untuk berlayar hingga ke tengah laut ZEE. Selain untuk mengeksploitasi sumber daya laut di ZEE, kehadiran nelayan-nelayan Indonesia juga sebagai bukti kehadiran fisik Indonesia di wilayah itu.

“Nelayan-nelayan Natuna tidak bisa ke sana karena kapalnya kecil-kecil dan takut kehabisan BBM (bahan bakar minyak). Jadi, harus ada tindakan pemerintah untuk mensubsidi,” katanya.

Senada dengan Hikmahanto, Herlijanto mewanti-wanti agar Indonesia waspada dengan peta baru China karena berpotensi menjadi legitimasi buat negara tirai bambu itu untuk melakukan kegiatan-kegiatan lebih lanjut.

“(China) pasti membuat peta tidak hanya peta, tetapi dilanjutkan dengan kegiatan. Kita tetap perlu melakukan penolakan. Dalam hal ini suara-suara masyarakat yang mengatakan bahwa kita aware tindakan china yang juga menganggu wilayah Indonesia perlu disampaikan,” ujar dosen Program Studi Ilmu Komunikasi di Universitas Pelita Harapan itu.

Sejumlah pengunjung berfoto di depan kereta cepat Jakarta-Bandung yang dinamakan Whoosh dalam acara peresmian di stasiun Halim, Jakarta, 2 Oktober 2023. (Foto: Yasuyoshi Chiba/AFP)
Sejumlah pengunjung berfoto di depan kereta cepat Jakarta-Bandung yang dinamakan Whoosh dalam acara peresmian di stasiun Halim, Jakarta, 2 Oktober 2023. (Foto: Yasuyoshi Chiba/AFP)

Perang terbuka?

Meski tetap harus mewaspadai letupan-letupan yang berpotensi memicu perang antar negara di kawasan itu, Hikmahanto berpendapat, bahwa China tidak akan memulai menggunakan kekuatan militernya. Pasalnya, China juga secara ekonomi bergantung pada negara-negara bersengketa di kawasan itu untuk menjadi pasar bagi produk-produk ekspornya.

“Siapa yang inisiasi kita belum tahu, tapi yang pasti bukan China. China bisa menjadi negara besar secara ekonomi seperti sekarang karena menjual barang-barang, mulai dari laptop, sikat gigi sampai yang namanya teknologi tinggi,” kata Hikmahanto.

Kereta Cepat Jakarta Bandung Resmi Beroperasi
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:03:32 0:00

Inisiatif investasi infrastruktur Belt & Road Initiative (BRI) atau Inisiatif Sabuk dan Jalan, kata Hikmahanto, adalah salah satu strategi memastikan agar negara-negara penerima BRI menggunakan produk-produk atau teknologi China.

Berdasarkan data Green Finance & Development, selain Indonesia, Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, dan Vietnam termasuk di antara negara-negara yang berpartisipasi dalam BRI.

Indonesia sendiri baru saja meresmikan beroperasinya kereta cepat Jakarta-Bandung, Whoosh, yang didanai sebagian besar dari pinjaman China.

"Dunia butuh China dan China butuh dunia. Nah, jadi itu sama-sama saling membutuhkan sebenarnya sehingga walaupun kelihatannya keras, saya menganggap bahwa tidak akan terjadi inisiatif dari China untuk menggunakan kekuatan militernya kecuali tadi dalam rangka defense (pertahanan-red),” katanya. [ft/rs]

Forum

XS
SM
MD
LG