Pakar kebijakan luar negeri Barat menyambut baik perjanjian AS dengan Seoul dan Tokyo baru-baru ini untuk bersama-sama mengatasi disinformasi asing, dengan mengatakan bahwa perjanjian tersebut diperlukan untuk melawan upaya China yang dianggap melemahkan demokrasi liberal melalui penyebaran berita palsu.
AS menandatangani Nota Kerja Sama dengan Jepang di Tokyo pada hari Rabu “untuk mengidentifikasi dan melawan manipulasi informasi asing,” menurut pernyataan Departemen Luar Negeri AS.
Perjanjian tersebut menyusul Nota Kesepahaman yang ditandatangani dengan Korea Selatan di Seoul hari Jumat untuk bekerja sama dalam upaya mengatasi disinformasi asing. Perjanjian yang pertama dirancang untuk melawan disinformasi tersebut, dibuat oleh Liz Allen, wakil menteri luar negeri AS untuk diplomasi publik dan urusan masyarakat, selama perjalanan tugasnya ke Asia.
Perjanjian ini dirancang untuk “menunjukkan keseriusan Amerika Serikat dalam bekerja sama dengan mitra-mitranya untuk mempertahankan ruang informasi,” menurut pernyataan Departemen Luar Negeri AS pada hari Rabu, yang tidak menyebut negara mana pun sebagai ancaman.
Sebagai tanggapan, Liu Pengyu, juru bicara Kedutaan Besar China di Washington, mengatakan kepada VOA pada hari Selasa bahwa ia ingin menekankan bahwa “China selalu menentang penciptaan dan penyebaran disinformasi.”
Liu mengatakan, "Apa yang saya lihat adalah terdapat banyak disinformasi tentang China di media sosial di AS. Beberapa pejabat, anggota parlemen, media, dan organisasi AS telah membuat dan menyebarkan sejumlah besar informasi palsu terhadap China tanpa bukti apa pun, mengabaikan fakta-fakta yang mendasarinya."
Perjanjian yang dibuat AS dengan sekutunya adalah “sebuah pengakuan terhadap ancaman yang ditimbulkan oleh China,” kata David Maxwell, wakil presiden Pusat Strategi Asia Pasifik.
“Disinformasi adalah bagian dari kampanye perang politik jangka panjang yang disengaja oleh China untuk menumbangkan demokrasi di AS, Korea Selatan, dan Jepang serta melemahkan hubungan aliansi untuk mencegah tindakan terpadu melawan China,” kata Maxwell, menggunakan akronim untuk nama resmi Korea Selatan, Republik Korea.
China tampaknya mempercepat operasi media sosialnya yang bertujuan untuk memengaruhi pemilu AS pada tahun 2024.
Meta, perusahaan induk Facebook dan Instagram, mengumumkan pada 30 November bahwa mereka menghapus 4.789 akun Facebook yang berbasis di China yang meniru identitas orang Amerika, termasuk politisi, dan memposting pesan tentang politik AS dan hubungan AS-China.
Dalam laporan mengenai ancaman permusuhan, Meta mengatakan China adalah sumber disinformasi asing yang paling umum ketiga setelah Rusia dan Iran.
Dennis Wilder, peneliti senior Initiative for U.S.-China Dialogue on Global Issues di Universitas Georgetown, berkata, "China, Rusia, dan negara-negara lain berusaha mengganggu cara kita memberi dan menerima wacana politik."
Wilder, mantan direktur Dewan Keamanan Nasional untuk China pada tahun 2004-2005 pada masa pemerintahan George W. Bush, terus mengatakan bahwa perjanjian yang dibuat Washington dengan Seoul dan Tokyo adalah “sebuah langkah maju yang signifikan” karena “negara-negara demokrasi harus bekerja sama” untuk mengimbangi “disinformasi dirancang untuk mempengaruhi para pemilih dan menyebarkan perbedaan pendapat dalam sistem politik kita yang terbuka."
Beijing tampaknya menyebarkan sikap anti-AS dan pesan-pesan pro-China di Korea Selatan juga.
Badan Intelijen Nasional (NIS) Korea Selatan mengumumkan pada 13 November bahwa mereka telah mengidentifikasi dan menghapus 38 situs berita palsu berbahasa Korea yang dioperasikan oleh dua firma hubungan masyarakat China, Haimai dan Haixun.
Pusat Keamanan Siber Nasional Korea Selatan, yang diawasi oleh NIS, merilis sebuah laporan pada hari yang sama yang menggambarkan jenis propaganda yang disebarkan oleh perusahaan tersebut melalui situs berita palsu dengan menyamar sebagai anggota Asosiasi Berita Digital Korea. Organisasi ini mengawasi hak cipta artikel berita yang diposting oleh anggotanya.
Menggunakan nama situs berita seperti Seoul Press dengan nama domain yang sesuai seperti seoulpr.com dan Busan Online dengan busanonline.com, Haimai telah menyebarkan disinformasi dan mengoperasikan situs-situs tersebut dari China, menurut laporan tersebut. Busan adalah kota terbesar kedua di Korea Selatan.
Sebuah artikel di Daegu Journal, situs terlarang lainnya yang dijalankan Haimai, menyatakan pada bulan Juni bahwa air limbah nuklir yang dilepaskan dari Jepang akan mempengaruhi rantai pasokan makanan Korea Selatan.
Laporan Pusat Keamanan Siber Nasional juga mencatat bahwa perusahaan keamanan siber yang berbasis di AS, Mandiant, dan dimiliki oleh Google, merilis sebuah laporan pada bulan Juli yang menuduh Haimai mengoperasikan 72 situs web palsu untuk menyebarkan pesan-pesan anti-AS.
Cho Han-Bum, peneliti senior di Institut Unifikasi Nasional Korea, mengatakan kepada VOA pada hari Selasa bahwa “China dan Korea Utara telah berupaya dengan berbagai cara untuk memengaruhi opini publik Korea Selatan.”
Dia mengatakan kampanye pengaruh tersebut dapat mempengaruhi politik Korea Selatan dan juga hubungan Seoul dengan Beijing atau sikapnya terhadap Pyongyang. [es/pp]
Kim Hyungjin di Seoul berkontribusi pada laporan ini.