Pemakaman para korban tewas akibat serangan Israel ke Rafah di Jalur Gaza digelar Senin (6/5) siang waktu setempat. Serangan ke Rafah itu menewaskan 22 orang, termasuk anak-anak dan dua bayi, menurut salah satu rumah sakit di sana.
Pemakaman itu diadakan beberapa jam setelah pasukan Israel memerintahkan sekitar 100.000 warga Palestina untuk keluar dari Rafah, sebagai isyarat segera dilakukannya invasi darat yang sudah lama dijanjikan.
Abu Ahmed, salah seorang pengungsi di Rafah, mengatakan, “(Pemerintah) pendudukan Israel menyuruh orang-orang pergi ke Rafah karena ini wilayah aman. Sekarang, mereka menyuruh kami pergi dari Rafah. Ke mana kami akan pergi? Ke mana kami semua akan pergi? 1,5 juta atau 2 juta warga sipil ini, ke mana mereka akan pergi? Haruskah mereka ke laut? Ke mana orang-orang akan pergi setelah mereka bilang ini wilayah aman? Mereka ingin melakukan genosida, itu yang kami pahami.”
Sementara itu, kepulan asap juga membubung dari sejumlah target yang diledakkan Israel lewat serangan udaranya di Rafah hari Senin, beberapa jam setelah pengumuman evakuasi.
Juru bicara pemerintah Israel, David Mencer, merilis video pernyataan yang mengonfirmasi imbauan militer Israel terhadap warga di Rafah untuk melakukan “evakuasi sementara ke area kemanusiaan yang diperluas.”
“Kami telah memberi tahu warga Gaza melalui selebaran yang dijatuhkan (dari udara), pesan SMS, telepon dan media penyiaran berbahasa Arab. Imbauan di selebaran itu diambil dari situs IDF. Imbauan itu meminta warga di lingkungan khusus tertentu untuk merelokasi diri ke zona kemanusiaan khusus yang aman, karena IDF akan melancarkan operasi untuk menyerang organisasi teroris di area ini. Demi keselamatan mereka, IDF mendesak mereka untuk segera evakuasi ke area kemanusiaan yang diperluas di Al Muwasi,” jelasnya.
Sementara itu, badan PBB untuk pengungsi Palestina, UNRWA, mengatakan mereka tidak akan mematuhi perintah evakuasi Israel.
Direktur urusan UNRWA di Gaza, Scott Anderson, mengatakan, “Kami akan tinggal dan tetap membantu, terutama mereka yang memilih untuk pindah dari Rafah ke tempat lain. Kami tidak akan meninggalkan mereka. Bahkan, kami akan mengikuti mereka. Saya, khususnya, akan menjadi salah satu orang terakhir yang meninggalkan Rafah, setelah semua orang yang memilih untuk pindah, telah pindah. Dan kami akan memberikan bantuan kepada orang-orang di mana pun mereka memilih untuk berada, baik itu di Rafah, Khan Younis, wilayah Gaza tengah atau Gaza utara.”
Presiden AS Joe Biden menekan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu agar tidak melanjutkan rencananya melakukan serangan darat berskala besar ke Rafah, hari Senin.
Gedung Putih mengatakan, Biden menekankan “sikap tegasnya mengenai Rafah,” yaitu agar Israel tidak melanjutkan rencana itu, kecuali dapat menunjukkan cara untuk melindungi ratusan ribu warga sipil Palestina yang tinggal di sana.
Ketegangan meningkat hari Minggu (5/5) ketika Hamas menembakkan rudal ke posisi pasukan Israel di perbatasan Gaza, di dekat titik penyeberangan utama Israel yang digunakan untuk mengirimkan bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan. Serangan itu menewaskan empat tentara Israel.
Israel mengklaim Rafah merupakan benteng terakhir Hamas setelah perang selama tujuh bulan, yang diduga menampung ribuan petempur Hamas dan kemungkinan puluhan sandera.
Perang Israel-Hamas selama tujuh bulan terakhir kembali pecah pada 7 Oktober, ketika militan Hamas menyerang Israel selatan, menewaskan 1.200 orang dan menculik 252 sandera, menurut keterangan Israel.
Sementara serangan balasan Israel secara besar-besaran ke Gaza sejauh ini telah menewaskan lebih dari 34.000 warga Palestina, kata kementerian kesehatan Gaza yang dikelola oleh Hamas. Sebagian besar wilayah Gaza pun kini hancur lebur. [rd/em]
Forum