Desakan menghentikan pengiriman sampah plastik dari luar negeri, diteriakkan sejumlah aktivis lingkungan dari ECOTON dan sejumlah mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jawa Timur, Selasa (11/6).
Protes para aktivis peduli lingkungan ini disuarakan di depan kantor Konsulat Jenderal Australia dan kantor Konsulat Jenderal Jepang di Surabaya. Kedua negara itu disebut-sebut menjadi penyumbang terbesar sampah plastik impor yang masuk ke Indonesia, khususnya Jawa Timur.
Perwakilan pelajar peduli lingkungan, Aeshnina Azzahra Aqilani, mengatakan, ia mewakili warga Jawa Timur yang tidak menginginkan kampung halaman tempat tinggal mereka tercemar sampah plastik, termasuk yang berasal dari luar negeri.
Selama ini sampah plastik telah menimbulkan pencemaran pada air, tanah dan udara. Berbagai masalah kesehatan seperti gangguan hormonal, pernafasan, hingga kanker, dialami warga yang tinggal di sekitar lokasi pembuangan sampah plastik.. Aeshnina juga mengirimi surat ke kedua kantor konsulat negara asing tersebut agar mereka menghentikan pengiriman sampah plastik ke Indonesia.
“Kami meminta mereka untuk bertanggung jawab merestorasi dan merehabilitasi lingkungan yang telah mereka cemari dengan sampah plastiknya, agar mereka berhenti mengirimkan sampah plastiknya ke Indonesia, berhenti mengekspor sampah plastiknya, untuk mengolah sampah plastiknya sendiri, mendaur ulang sampah plastiknya sendiri di negaranya mereka sendiri," kata Aeshnina.
Juru bicara ECOTON, Alaika Rahmatullah, menyebut Australia menjadi negara yang mengirim sampah plastik terbanyak ke Indonesia.
Menurut Basis Data Statistik Perdagangan Komoditas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau Comtrade, sedikitnya 22.000 ton sampah plastik dari Australia dikirim ke Indonesia pada kurun waktu 2023-2024, atau naik 27,9 persen dari setahun sebelumnya, yaitu 16.100 ton. Sementara itu, Jepang mengirim sampah plastiknya sekitar 12.460 ton ke Indonesia pada 2023, atau meningkat 14,37 persen dari 2022, yaitu 10.670 ton.
Alaika mengatakan, sampah-sampah plastik itu berkontribusi besar terhadap pencemaran lingkungan di di sejumlah desa di Sidoarjo, Mojokerto, dan Malang.
“Faktanya dumping site sampah impor ini telah kami temukan, ada di Desa Gedangrowo, kemudian ada di Desa Tanjangrono, kemudian ada juga di Desa Bangun, yang kemudian ternyata sampah-sampah itu ditimbun, dibakar, kemudian ada juga yang berakhir di pabrik tahu, pabrik Krupuk, untuk bahan pembakarannya," papar Alaika.
Direktur Eksekutif ECOTON, Daru Setyo Rini, menyebut negara-negara maju yang mengirimkan sampah plastiknya ke Indonesia, bertanggung jawab terhadap pencemaran yang terjadi dan dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat. Daru mengatakan, seharusnya negara maju memberikan contoh mengenai bagaimana tanggung jawab mengelola sampahnya, dan bukanya malah membuang sampahnya ke Indonesia.
Penelusuran ECOTON menyebutkan bahwa sampah plastik dari negara-negara maju tidak hanya berakhir di tempat-tempat, tapi juga menjadi bahan baku pembakaran industri makanan seperti tahu dan krupuk.
Padahal, berdasarkan penelitian ECOTON pada 2024, sampah plastik jenis high density polyethylene (HDPE) di Jawa Timur mengandung 346 bahan kimia berbahaya, dengan 30 di antaranya berkonsentrasi tinggi dan berpotensi mengganggu sistem endokrin pada organisme manusia dan hewan.
“Semua plastik itu mengandung bahan-bahan kimia beracun yang berbahaya kalau didaur ulang. Apalagi kalau cara daur ulangnya itu tidak menerapkan sistem pencegahan terlepasnya racun-racun kimia ini ke lingkungan. Misalnya dengan cara dibakar, banyak gas-gas atau abu-abu yang akan lepas, dan itu tidak terpantau, tidak terkendali ketika dia sudah berubah bentuk dari padat menjadi gas atau pun partikel debu yang berterbangan di udara,” jelas Daru.
Sulitnya mengurai permasalahan sampah plastik impor, menurut Daru, tidak lepas dari minimya upaya pengumpulan sampah domestik atau di tingkat rumah tangga.
“Kondisi pengumpulan sampah di dalam negeri kita itu masih sangat minim, rata-rata nasional hanya 30 persen sampah rumah tangga dan sejenis rumah tangga yang terlayani oleh sistem pengumpulan sampah yang disediakan pemerintah. Jadi, memang supaya kita bebas impor, kita harus memaksimalkan pengumpulan sampah di dalam negeri," jelas Daru lebih lanjut.
Staf pengajar di Departemen Anatomi dan Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Surabaya, Adhimas Setyo Wicaksono, mengatakan masyarakat yang tinggal di sekitar tempat pembuangan sampah berisiko terkena penyakit infeksi saluran pernapasan akut atau ISPA, pencernaan, gangguan kulit, keracunan, hingga kanker.
Warga, kata Adhimas, perlu mendapatkan pemahaman yang cukup tentang risiko berada di lingkungan yang tidak bersih, terlebih bila bersentuhan dengan sampah tanpa alat perlindungan diri yang memadai, seperti masker, sarung tangan, dan sepatu karet.
Adhimas menambahkan, dampaknya bisa meluas tidak hanya pada individu, tetapi juga pada kesehatan lingkungan sekitar, alam dan membuat atmosfer Bumi semakin menipis.
“Kalau sampah yang didaur ulang sebagai bahan baku untuk pembakaran, untuk memasak, asapnya itu juga bisa menyabebkan suatu polutan yang akhirnya bisa mengkontaminasi makanan yang sedang kita masak. Sehingga kalau dikonsumsi ke manusia bisa menimbulkan suatu penyakit, bisa penyakit apa pun,” kata Daru.
Daru menambahkan, pemerintah sebetulnya telah memperketat pengaturan pembatasan masuknya sampah impor ke Indonesi. Namun bila pengawasan di pintu-pintu masuk tidak dijaga dengan baik, sampah plastik impor tetap akan memenuhi wilayah Indonesia yang dijuluki sebagai negara kedua penyumbang sampah plastik terbanyak di lautan.
Sejak 2018, China menghentikan impor sampah plastik dari berbagai negara di Eropa dan Amerika, sebagai dampak munculnya berbagai masalah kesehatan. Sampah dari negara maju yang semula dikirim ke China, kini membanjiri negara-negara berkembang di Afrika, Amerika Selatan, dan Asia, termasuk Indonesia. [pr/ab]
Forum