Komisioner Bidang Pendidikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Badriyah Fayumi kepada VOA mengungkapkan bahwa penelitian lembaga tersebut menunjukkan 87,6 persen anak pernah mengalami kekerasan di sekolah dalam berbagai bentuk.
Penelitian dilakukan dalam bentuk monitoring dan evaluasi terhadap 1.026 responden anak di sembilan daerah di Indonesia.
Badriyah menjelaskan berdasarkan pengakuan responden, kekerasan paling banyak dilakukan oleh teman sekelas (42 persen), guru (29,9 persen) dan teman lain kelas (28 persen).
“Bisa kekerasan fisik saja, bisa kekerasan psikis dan fisik sekaligus, bisa dari tingkat yang paling ringan sampai tingkat yang paling berat. Pelakunya ada teman sekelas, teman lain kelas dan guru. Masih permisif saja masyarakat kita terhadap nilai-nilai kekerasan, bahkan anak-anak dididik dengan kekerasan dianggap hal biasa,” ujarnya.
KPAI, lanjut Badriyah, telah meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menjadikan program sekolah ramah anak menjadi kebijakan nasional.
Program ini penting, kata Badriyah, untuk memberikan ruang partisipasi kepada anak, kesempatan tumbuh kembang secara optimal sesuai dengan potensi dan benar-benar berorientasi pada kepentingan anak.
“Kita minta ke Mendikbud untuk bisa menjadikan ini sebagai program nasional karena aparat yang khusus ditugaskan untuk menangani, menanggulangi dan meminimalisir kekerasan di sekolah ternyata tidak ada. Yang ada adalah kalau sudah terjadi kasus kemudian dilakukan rembukan. Tetapi misalnya kekerasan menjadi bagian dari penilaian sebuah sekolah misalnya, tentang akreditasi ada tidaknya kekerasan, itu kan belum masuk,” ujarnya.
Juru Bicara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Ibnu Hamad menyayangkan masih tingginya angka kekerasan di sekolah. Pihaknya saat sedang mengembangkan pendidikan karakter, tambahnya.
“Keinginannya sekolah itu menerapkan pendidikan karakter itu salah satunya adalah ramah ramah terhadap sesama, ramah terhadap lingkungan dan strategi yang ingin dikembangkan Kementerian pendidikan dan Kebudayaan adalah apa yang disebut dengan pembudayaan di sekolah, jadi tidak dimaksudkan sebagai mata pelajaran keramahan antar sesama itu. Para guru itu diikutkan dalam pendidikan karakter. Guru-guru yang telah mewakili sekolah itu diharapkan menularkan terhadap guru-guru yang lain,” tuturnya.
Psikolog anak Seto Mulyadi atau yang akrab dipanggil Kak Seto menyatakan masih sering terjadinya kekerasan di sekolah diantaranya disebabkan masih banyaknya contoh-contoh kekerasan di lingkungan anak-anak.
“Contoh kekerasan di tempat terdekat mereka yaitu keluarga dan sekolah. Orang tua kadang-kadang melakukan pendidikan dengan cara yang penuh kekerasan, kadang dibentak, ditempeleng, dipukul masih ada,” ujar Kak Seto.
“Guru-guru juga demikian. Beban anak yang begitu berat, kurikulum yang terlalu padat, pekerjaan rumah yang menumpuk, kemudian cara guru yang mungkin kurang menarik dan sebagainya, itu membuat anak semakin tertekan. Dan akhirnya budaya kekerasan mulai terbentuk pada mereka. Kurangnya komunikasi antara anak-anak dengan orangtua maupun guru mereka.”
Penelitian dilakukan dalam bentuk monitoring dan evaluasi terhadap 1.026 responden anak di sembilan daerah di Indonesia.
Badriyah menjelaskan berdasarkan pengakuan responden, kekerasan paling banyak dilakukan oleh teman sekelas (42 persen), guru (29,9 persen) dan teman lain kelas (28 persen).
“Bisa kekerasan fisik saja, bisa kekerasan psikis dan fisik sekaligus, bisa dari tingkat yang paling ringan sampai tingkat yang paling berat. Pelakunya ada teman sekelas, teman lain kelas dan guru. Masih permisif saja masyarakat kita terhadap nilai-nilai kekerasan, bahkan anak-anak dididik dengan kekerasan dianggap hal biasa,” ujarnya.
KPAI, lanjut Badriyah, telah meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menjadikan program sekolah ramah anak menjadi kebijakan nasional.
Program ini penting, kata Badriyah, untuk memberikan ruang partisipasi kepada anak, kesempatan tumbuh kembang secara optimal sesuai dengan potensi dan benar-benar berorientasi pada kepentingan anak.
“Kita minta ke Mendikbud untuk bisa menjadikan ini sebagai program nasional karena aparat yang khusus ditugaskan untuk menangani, menanggulangi dan meminimalisir kekerasan di sekolah ternyata tidak ada. Yang ada adalah kalau sudah terjadi kasus kemudian dilakukan rembukan. Tetapi misalnya kekerasan menjadi bagian dari penilaian sebuah sekolah misalnya, tentang akreditasi ada tidaknya kekerasan, itu kan belum masuk,” ujarnya.
Juru Bicara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Ibnu Hamad menyayangkan masih tingginya angka kekerasan di sekolah. Pihaknya saat sedang mengembangkan pendidikan karakter, tambahnya.
“Keinginannya sekolah itu menerapkan pendidikan karakter itu salah satunya adalah ramah ramah terhadap sesama, ramah terhadap lingkungan dan strategi yang ingin dikembangkan Kementerian pendidikan dan Kebudayaan adalah apa yang disebut dengan pembudayaan di sekolah, jadi tidak dimaksudkan sebagai mata pelajaran keramahan antar sesama itu. Para guru itu diikutkan dalam pendidikan karakter. Guru-guru yang telah mewakili sekolah itu diharapkan menularkan terhadap guru-guru yang lain,” tuturnya.
Psikolog anak Seto Mulyadi atau yang akrab dipanggil Kak Seto menyatakan masih sering terjadinya kekerasan di sekolah diantaranya disebabkan masih banyaknya contoh-contoh kekerasan di lingkungan anak-anak.
“Contoh kekerasan di tempat terdekat mereka yaitu keluarga dan sekolah. Orang tua kadang-kadang melakukan pendidikan dengan cara yang penuh kekerasan, kadang dibentak, ditempeleng, dipukul masih ada,” ujar Kak Seto.
“Guru-guru juga demikian. Beban anak yang begitu berat, kurikulum yang terlalu padat, pekerjaan rumah yang menumpuk, kemudian cara guru yang mungkin kurang menarik dan sebagainya, itu membuat anak semakin tertekan. Dan akhirnya budaya kekerasan mulai terbentuk pada mereka. Kurangnya komunikasi antara anak-anak dengan orangtua maupun guru mereka.”