Ketua Umum Serikat Pekerja Perikanan Indonesia (SPPI) Achdiyanto Ilyas Pangestu menekankan para anak buah kapal (ABK) asal Indonesia yang bekerja di kapal-kapal ikan asing, terutama berbendera China, tidak mendapat perlindungan.
Menurut Achidyanto, hal itu terjadi karena pemerintah tidak tahu dan tidak dilibatkan dalam proses perekrutan.
"Mereka ditempatkan oleh perusahaan mana, pemerintah tidak tahu. Kemudian mereka dipekerjakan di kapal mana, di perairan mana, posisi kapal di mana, tidak ada yang tahu," kata Ilyas dalam diskusi bertema Perbudakan di Sektor Kelautan pada Jumat (4/12).
Selain itu, lanjut Ilyas, pemerintah tidak bisa memastikan perusahaan mana yang bisa merekrut atau tidak merekrut calon ABK. Setelah berada di atas kapal ikan China, para ABK dari Indonesia ini tidak memiliki akses komunikasi.
Para ABK yang dipekerjakan di kapal-kapal ikan China kebanyakan belum memiliki kompetensi dan pengalaman. Akibatnya, kata Ilyas, sejak awal bekerja, sudah terjadi kendala dan masalah. Seperti masalah komunikasi karena ABK Indonesia tidak bisa berbahasa Mandarin. Karena hambatan bahasa ini lah, akhirnya muncul pemukulan atau penyiksaan.
Persoalan lainnya, kata Ilyas, adalah perlakuan diskriminatif terhadap para ABK Indonesia di atas kapal ikan China. Mereka dipaksa mengkonsumsi umpan ikan, minum air laut yang sudah difilter, sedangkan kru kapal warga China minum air mineral.
Ilyas menekankan para ABK yang bekerja di kapal ikan China rata-rata tidak diberi akses komunikasi. Mereka baru bisa berkomunikasi kalau ada kapal lain yang datang membeli ikan.
Di samping itu, gaji para ABK yang bekerja di kapal ikan China lebih rendah dari ABK yang bekerja di kapal ikan Jepang dan Korea Selatan.
Untuk mencegah perbudakan yang menimpa para ABK Indonesia di kapal ikan China, Ilyas meminta pemerintah segera mengeluarkan peraturan tentang perlindungan ABK yang bekerja di kapal niaga dan ikan asing. Pemerintah juga harus meratifikasi Konvensi ILO mengenai bekerja di sektor perikanan.
Ilyas merekomendasikan pemerintah segera menciptakan sinergi antar kementerian dan lembaga terkait untuk memberikan perlindungan maksimal bagi ABK Indonesia yang bekerja di luar negeri, serta mengawasi kondisi ABK yang bekerja di kapal-kapal asing.
Menurut Direktur Penegakan Hukum dan Akses terhadap Keadilan di Indonesia, Ocean Justice Intiative (IOJI), Fadila Octaviani, meningkatnya pertumbuhan dunia menyebabkan kenaikan atas permintaan produk perikanan. Penduduk dunia diproyeksikan tumbuh menjadi 8,5 miliar orang pada 2030. Sementara, pasokan ikan global diperkirakan oleh Bank Dunia dan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (Food and Agriculture Organization/FAO) sebesar 187 juta ton di 2030, termasuk 50 persen dari penangkapan ikan.
Karena itu, industri penangkapan ikan pun terus berkembang dan mengakibatkan permintaan terhadap ABK juga naik.
Fadila menambahkan terdapat lebih dari 200 ribu ABK Indonesia bekerja di kapal ikan asing pada 2013-2015. Berdasarkan data Kementerian Luar Negeri, ABK Indonesia paling banyak bekerja di kapal ikan Taiwan dan Korea Selatan.
Data dari Kementerian Luar Negeri ini berbeda dengan catatan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) yang menyatakan jumlah ABK yang bekerja di kapal ikan asing itu hanya 30.864 selama 2011-2019. Mayoritas ABK ini berasal dari Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Fadila mengungkapkan alasan ABK Indonesia lebh memilih bekerja di kapal ikan asing karena gaji yang ditawarkan lebih tinggi. Dia mencontohkan gaji ABK kapal ikan taiwan senilai Rp 11,9 juta pada 2019, sedangkan di Indonesia hanya Rp 2,5 juta.
Menurut Fadila, kapal ikan Taiwan, Korea Selatan, Spanyol, dan China melakukan ekspansi penangkapan ikan sejak 1950-an sejauh minimal dua ribu kilometer dari negara asal mereka. Dia memperingatkan makin jauh kapal ikan berlayar, rentan terjadi perbudakan terhadap ABK.
Dia menjelaskan hampir 50 persen kasus yang menimpa ABK adalah kasus ketenagakerjaan. Mengutip data Bp2MI, Fadila mengatakan, pengaduan paling banyak selama dua tahun terakhir adalah gaji tidak dibayar.
"Masalah gaji nggak dibayar atau gajinya banyak dipotong, atau kontraknya sudah lewat tapi masih dipekerjakan dan lain-lain. Kemudian disusul oleh penyelundupan manusia,” ujar Fadila.
Fadila menjelaskan perusahaan pengiriman ABK juga terlibat dalam praktik-praktik perdagangan orang. Perusahaan-perusahaan nakal ini memberikan informasi yang tidak benar, memungut biaya saat perekrutan, menahan atau tidak membayar sebagian atau seluruh gaji, menahan dokumen milik ABK, dan mengikat ABK melalui pinjaman atau utang.
Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengesahkan sebuah resolusi mengenai keamanan anak buah kapal (ABK) pada 1 Desember 2020.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan resolusi tersebut antara lain menetapkan pelaut sebagai pekerja sektor penting. Retno menambahkan pengesahan resolusi PBB mengenai keamanan ABK itu merupakan bagian dari langkah strategis yang diambil pemerintah untuk melindungi semua ABK dari Indonesia. [fw/ft]