Aceh telah resmi memberlakukan hukum pidana syariah atau qanun jinayat, menurut pejabat pemerintah lokal akhir pekan lalu, yang mempidanakan perzinahan, homoseksualitas dan ekspresi kasih sayang di depan publik di luar pernikahan.
Aturan di Aceh menyebutkan bahwa siapa pun yang tertangkap basah melakukan hubungan seks homoseksual akan menghadapi sampai 100 hukuman cambuk, denda sampai 1 kilogram emas dan penjara sampai 100 bulan. Pelaku perzinahan juga akan dihukum cambuk 100 kali, tapi tidak dihukum denda atau penjara.
Aturan baru ini juga mengkriminalisasi pemerkosaan dan pelecehan seksual. Mereka yang bersalah akan dihukum cambuk 40 kali atau lebih.
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan pemberlakuan aturan ini. Ini menjadi payung untuk pemberlakuan aturan Islam," ujar Syahrizal Abbas, kepala departemen hukum syariah pada pemerintahan Aceh.
"Mereka yang non-Muslim dapat memilih apakah akan dihukum berdasarkan aturan syariah atau undang-undang pidana Indonesia yang biasa," tambahnya. Warga non-Muslim di Aceh mencakup sekitar 1 persen dari jumlah penduduk keseluruhan.
Aturan pidana nasional tidak mengatur homoseksualitas dan pemerintah pusat tidak memiliki kewenangan untuk mengatur undang-undang daerah. Namun versi awal aturan yang menghukum pelaku perzinahan dengan hukuman rajam sampai mati dihapuskan karena tekanan dari pemerintah pusat.
Kelompok-kelompok hak asasi manusia telah mengkritik aturan tersebut, yang disebut melanggar traktat-traktat internasional yang ditandatangani oleh Indonesia untuk melindungi hak-hak kaum minoritas.
"Ini tidak melanggar HAM. Sebaliknya, malah meninggikan harkat manusia," ujar Abbas.
Kelompok-kelompok HAM memperingatkan bahwa aturan baru itu dapat mengkriminalisasikan seks konsensual dan menciptakan kendala untuk pelaporan pemerkosaan.
"Menghukum siapa pun yang melakukan hubungan seks secara suka sama suka dengan hukuman cambuk 100 kali adalah sesuatu yang tercela," ujar Josef Benedict, direktur kampanye Amnesty International untuk Asia Tenggara, dalam sebuah pernyataan.
"Ini pelanggaran HAM secara menyolok dan harus segera dicabut."
Aceh diberi otonomi khusus tahun 2005 sebagai bagian dari persetujuan dengan pemerintah pusat untuk mengakhiri kekerasan separatis selama puluhan tahun, dan kemudian dapat memberlakukan aturan syariah.
Awal tahun ini, sebuah kabupaten di Aceh memberlakukan peraturan daerah yang mewajibkan sekolah-sekolah untuk memisahkan murid laki-laki dan perempuan, dan daerah lainnya melarang perempuan membonceng sepeda motor dengan duduk mengangkang. [hd]