Kerap limbung karena label bekas teroris, sekelompok mantan narapidana kasus terorisme di Bekasi, Jawa Barat, mengelola sebuah yayasan untuk memberdayakan diri dan sesamanya agar bisa kembali ke masyarakat. Beragam program, dari peternakan burung puyuh petelur hingga deradikalisasi napiter, mereka lakukan untuk kembali berdikari.
Selama enam bulan terakhir, Wartimah menyalurkan telur puyuh dari Yayasan DeBintal ke warung-warung di sekitar tempat tinggalnya di Bekasi utara, Jawa Barat. Perempuan paruh baya itu mengaku, banyak pemilik warung yang sebelumnya merekomendasikan yayasan itu kepadanya. Selain dekat dan murah, ia merasa para pengurus yayasan itu juga “asik.”
“Hendro apalagi, ‘kan, walaupun garang gitu, kalau saya datang, kadang panggil saya – kan udah sepuh, istilahnya – umi, kadang emak,” tutur Wartimah, agen telur puyuh itu saat dihubungi VOA (11/7).
Hendro, yang bernama lengkap Hendro Fernando, adalah Sekretaris Jenderal Yayasan DeBintal. Pria berjanggut dengan rambut sebahu itu sudah setahun terakhir mengelola DeBintal bersama rekan-rekannya sesama mantan narapidana kasus terorisme (eks-napiter).
DeBintal, akronim Dekat Bintang dan Langit, merupakan yayasan yang diinisiasi Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror untuk mewadahi para eks-napiter yang telah selesai menjalani masa hukuman dan sukses dideradikalisasi. Di dalamnya, mereka dibina dan dibimbing agar bisa kembali ke masyarakat dengan berdaya. Pasalnya, para eks-napiter kerap limbung ketika bebas.
“Kami ini tersandera dengan status sosial. Mantan napi, habis itu teroris lagi. Itulah yang membuat kami minder di masyarakat,” ungkap Hendro saat berbincang dengan VOA melalui panggilan video (7/7).
Hendro sendiri baru bebas dari Lapas Nusakambangan tahun lalu. Ia mulai terpapar radikalisme tahun 2011 ketika giat menghadiri tabligh akbar di sebuah masjid di Bekasi. Saat itu, ia mengaku mencapai titik jenuh dalam hidupnya dan ingin berubah menjadi pribadi yang alim, setelah sebelumnya lalai beragama.
Setelah beberapa kali ikut serta, Hendro mengaku didekati salah seorang jemaah yang menawarinya bergabung ke dalam pengajian internal Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), salah satu kelompok yang menggelar tablig akbar di masjid itu. Di sana ia menerima ajaran kebencian dan permusuhan terhadap negara hingga kewajiban untuk berjihad. “’Matang’ saya di situ,” kenangnya.
Meski demikian, Hendro pada akhirnya tidak berbaiat kepada JAT. Dia lebih memilih bersumpah setia kepada ISIS dan bergabung dengan kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT). Hendro, yang terhasut ingin melakukan aksi amaliyah, alias mengorbankan diri dalam serangan teror, kemudian dijadikan penanggung jawab logistik MIT, di mana salah satu tugasnya adalah memasok senjata dan amunisi ke Poso dan Filipina.
Pada 15 Januari 2016, sehari setelah teror bom Thamrin, Hendro dibekuk dan dikenai pasal pendanaan terorisme. Ia divonis bersalah dengan hukuman penjara 6 tahun 2 bulan.
Sekarang, setelah bebas, ia dan ketujuh pengurus yayasan lainnya mencoba memberdayakan para eks-napiter yang “sudah NKRI” untuk bekerja dan berbaur kembali di masyarakat.
Bisnis Telur Puyuh
Ada beberapa unit usaha yang dijalankan DeBintal sejak berdiri tahun lalu, dari rumah potong halal, percetakan kaus, hingga produksi minuman lemon sereh. Di antara semuanya, usaha ternak burung puyuh petelur lah yang paling berkelanjutan.
“Telurnya juga kita nggak jual jauh-jauh, di sekitar warga aja. Bahkan warga itu akhirnya menjadi agen-agen kita, karena harga dari kandang lebih murah,” ungkap Hendro.
Dari enam ribu ekor burung puyuh yang diternak, yayasannya memanen 35-40 kilogram telur puyuh setiap hari, yang dijual dengan harga Rp30 ribu per kilogram. Beberapa warga setempat juga dipekerjakan untuk mengurus ternak.
Pendapatan dari usaha puyuh petelur itu digunakan untuk membiayai kegiatan operasional yayasan, termasuk membayar gaji pegawai, kebutuhan listrik dan sambungan internet.
Ia juga senang unit usaha tersebut berdampak ekonomi bagi lingkungan sekitar, termasuk bagi Wartimah, yang memasok telur ke hampir 20 warung.
“Alhamdulillah ya untuk nambah hari-hari. Eh, bukan (hanya) hari-hari – lebih lah ya, bahkan kemarin ikut kurban pakai uang itu juga,” aku Wartimah.
Ia tak ambil pusing dengan masa lalu Hendro dan pengurus yayasan yang kini dianggapnya “sudah kayak anak sendiri.” Wartimah bahkan sudah nyaman berkelakar dengan mereka.
“’Kalian dulu gimana sih? Pikiran kalian gimana? Memangnya (kalian kira) surga semudah itu?’ gitu. (Lalu dijawab) ‘Nggak, Bu,’ sambil ketawa mereka,” tuturnya diiringi tawa.
Jembatan Efektif Deradikalisasi
Selain pemberdayaan ekonomi, Hendro dan kawan-kawan juga membantu eks-napiter mengurus dokumen kependudukan ketika mereka bebas dari penjara. DeBintal juga menyediakan fasilitas rumah singgah bagi keluarga napiter dan eks-napiter yang ingin menjenguk maupun menjemput mereka dari lembaga pemasyarakatan di wilayah Jabodetabek. Yayasan itu pun diperbolehkan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan untuk menjadi penjamin pembebasan bersyarat para narapidana. Hal itu terjadi ketika keluarga dan kerabat napiter tidak berkenan menjadi penjamin.
“Jangan sampai mereka kecewa. Dia bebas, dia keluar dengan kekecewaan, akhirnya dia bergabung lagi dengan jaringan (terorisme),” kata Hendro.
Yayasan DeBintal disebut Hendro juga membantu melakukan kegiatan deradikalisasi terhadap para napiter yang masih “merah” – istilah bagi narapidana yang masih menganut ideologi radikal dan masih berhubungan dengan jaringan terorisme. Upaya itu sudah dilakukan di Lapas Cipinang, Lapas Cikeas dan Lapas Nusakambangan.
Berdasarkan pengalamannya, pendekatan yang dilakukan oleh mantan teroris berpeluang lebih besar membuka hati para napiter, karena adanya kesamaan pengalaman.
“Minimal ketika saya dulu masih merah, ketika saya didatangi eks-napiter, saya lebih cenderung terbuka sama mereka, lebih cenderung pasti banyak nanya. Tapi ketika saya bertemu dengan, maaf, ketika ada orang NU langsung menawarkan Pancasila, langsung resisten, bawaannya pengin ribut,” ungkapnya.
Hal itu diamini Kepala Unit Integrasi dan Koordinasi Direktorat Identifikasi dan Sosial Densus 88 Polri Kompol Vanggivantozy Praduga Satria, saat menjawab pertanyaan VOA pada sesi webinar “The Impact of Society and Family in Deradicalization” yang diselenggarakan UIN Sunan Kalijaga dan The Apex Chronicles (18/7).
“Itu yang mungkin dari kami, dari pemerintah, maupun dari para ahli tidak bisa masuk, di situ. Yang hanya bisa masuk ke situ adalah orang-orang yang pernah tergabung dalam kelompok teror,” kata Vanggivantozy. “Cara-cara mereka mungkin lebih efektif, tapi panduannya tetap dari para ahli, para ulama dan para ustaz.”
Deradikalisasi sendiri dilakukan secara bertahap, kata Hendro, dari yang sebelumnya seorang napiter menganut paham terorisme, kemudian diturunkan menjadi radikalisme, intoleransi, sebelum tiba di titik moderat. Dalam prosesnya, mereka dipaparkan pada berbagai referensi keagamaan yang lebih moderat, yang berada di luar ideologi radikal yang mereka yakini, hingga mungkin bersedia mengakui kedaulatan NKRI.
Setelah bersumpah setia kepada Pancasila pun, para napiter perlu terus dibina dan dibimbing agar tidak kembali jatuh ke dalam jaringan teroris. Pasalnya, kans itu selalu ada selama jaringan teroris menawari mereka jaminan berupa tempat tinggal, biaya sekolah anak, keperluan istri, hingga uang bulanan. Belum lagi ancaman cerai dari pasangan mereka yang masih menganut paham radikal – atau menerima tekanan dari jaringan – apabila mereka bersikeras ‘kembali’ ke NKRI.
Bagaimanapun, semua upaya tersebut tak lepas dari risiko. Hendro mengaku, dirinya bahkan pernah menjadi target serangan teroris karena ‘memurtadkan’ para napiter.
“Mereka menjudge atau mengklaim bahwa orang-orang yang (menjadi) NKRI itu adalah ulahnya DeBintal. Banyak orang-orang yang ‘murtad’ itu gara-gara DeBintal. Mereka menarasikan seperti itu. Akhirnya mereka lihat siapa di DeBintal yang paling vokal, akhirnya saya yang jadi target,” ujar Hendro.
Akhir Juni lalu, DeBintal menandatangani perjanjian dengan Dirjen Pemasyarakatan untuk membina mental dan rohani napiter, meningkatkan kemampuan kewirausahaan dan memberikan jaminan program reintegrasi napiter selama lima tahun ke depan. Melalui perjanjian itu juga, yayasan tersebut diberikan akses ke seluruh lembaga pemasyarakatan di Indonesia untuk dapat menemui para napiter dalam upaya deradikalisasi.
Bisa Berubah
“Pro-kontra itu wajar, pasti ada,” jawab Hendro, ketika ditanya apakah ia dan rekan-rekannya masih menerima tatapan miring dari masyarakat.
Akan tetapi, mereka hanya bisa membalasnya dengan menunjukkan nilai manfaat yang yayasannya berikan ke masyarakat dan lingkungan sekitar.
“Di situlah kita bisa mengcounter yang tadi mungkin menjudge kita tidak bisa berubah atau keras ...ya (kita) bisa berubah. Kita manusia biasa yang memang punya kesalahan, dosa-dosa masa lalu,” ujarnya.
Sejauh ini, yayasannya sudah menerima dukungan pihak kepolisian hingga pemerintah desa setempat. Menariknya, Hendro bercerita, sempat ada sekelompok warga yang menolak kehadiran yayasannya, yang berpatokan pada sikap salah seorang tokoh masyarakat setempat, yang memang menolak Hendro dan kawan-kawan.
Tokoh masyarakat itu, yang ternyata seorang polisi, pada akhirnya mau menerima DeBintal ketika tahu bahwa yayasannya diinisiasi oleh Densus 88. Pada akhirnya, warga kemudian ikut menerima ia dan rekan-rekannya sesama eks-napiter.
Ketua Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme Majelis Ulama Indonesia (BPET MUI) Muhammad Syauqillah mengatakan, selain perbaikan sinergi lembaga-lembaga yang berwenang menangani masalah terorisme dan deradikalisasi, seperti BNPT dan Densus 88, peran warga amat sentral dalam membantu deradikalisasi dan reintegrasi eks-napiter ke tengah masyarakat. Meski demikian, ia menyadari bahwa tingkat literasi dan pendidikan masyarakat yang beragam bisa menjadi rintangan.
“Kalau masyarakat secara umum memang kita nggak bisa atasi ya, tapi kalau ngomong soal pelibatan masyarakat, tentunya yang paling penting, yang urgent itu bagaimana melibatkan satuan terkecil dalam sistem sosial kita, yaitu rukun tetangga, sampai kelurahan, pemda itu juga perlu terlibat,” ujar Syauqi, yang juga Ketua Program Studi Kajian Terorisme Universitas Indonesia sekaligus pengawas Yayasan DeBintal.
Apabila masyarakat tidak mendukung eks-napiter yang keluar dari jaringannya dan berniat memulai lembaran baru, bukan tidak mungkin ia akan kembali ‘dipegang’ jaringannya yang sudah siap menerima dirinya dan menanggung beban ekonominya.
Syauqi berharap, Yayasan DeBintal bisa membantu mederadikalisasi lebih banyak eks-napiter dan, lebih dari itu, membantu mereka hidup di tengah keragaman masyarakat. [rd/em]
Forum