Kuasa Hukum Mary Jane Veloso, Agus Salim, mengungkapkan bahwa kliennya akan dipindahkan ke Filipina pada Desember mendatang. Ia menekankan mekanisme pemindahan narapidana ini tidak melibatkan pengacara.
“Dengan upaya-upaya yang dilakukan ini sudah semakin jelas arah kasus Mary Jane seperti yang kita dengar di berita, itu hanya transfer of prisoner yang akan dijalankan pada Desember dan saat ini sedang dalam proses pengkajian prosedur formalnya seperti apa. Namun, itu tidak melibatkan lawyer, mungkin itu lebih ke internal Pemerintah Indonesia,” ungkap Agus dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI) di Jakarta, Kamis (21/11).
Agus menjelaskan, sebenarnya mekanisme pemindahan narapidana Mary Jane ini sudah dibicarakan oleh pihaknya dengan Menko Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra sejak Juli 2024. Agus menuturkan bahwa ia diundang oleh Yusril untuk berdiskusi mengenai kasus yang menimpa kliennya mulai dari proses dan sejarah kasushingga putusan-putusan hukum yang sudah diambil.
“Pada saat itu wacana terkait transfer of prisoner itu sudah disampaikan Prof Yusril, dan dia berjanji akan mencoba mendiskusikan dengan Pak Jokowi karena belum berakhir masa jabatannya. Kalaupun tidak memungkinkan untuk dibahas dengan Pak Jokowi, ya akan disampaikan kepada Pak Prabowo setelah dilantik,” jelasnya.
Iweng Karsiwen dari Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (Kabar Bumi) yang mendampingi Mary Jane sejak 2015 mengapresiasi sikap pemerintah yang memutuskan untuk memindahkan Mary Jane ke negara asalnya.
Menurutnya, keputusan pemindahan tersebut merupakan hasil yang melegakan dari perjalanan panjang yang harus dihadapi oleh ibu dua anak tersebut. Pasalnya beberapa upaya hukum mulai dari banding, kasasi, peninjauan kembali hingga grasi pun sudah ditempuh dan tidak menghasilkan apa-apa.
Selain itu, upaya pihaknya kala itu untuk melaporkan Mary Jane sebagai korban dari kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) tidak digubris oleh pihak kepolisian dengan alasan delik perkara dan pelakunya ada di luar negeri, sehingga narasi yang berkembang di masyarakat adalah Mary Jane merupakan kurir narkoba padahal sebenarnya ia merupakan korban TPPO.
“Sekarang ada hal baru di mana Mary Jane mendapatkan angin segar, kedua belah negara sepakat untuk memindahkan. Saya mengapresiasi langkah Pemerintah Indonesia maupun Filipina dalam upaya pemindahan ini. Menurut pendapat kami, langkah transfer ini akan lebih baik mengingat Filipina tidak mengimplementasikan hukuman mati," katanya.
"Paling tidak satu step langkah lebih positif, daripada dia tanpa kepastian di sini, masih terpidana hukuman mati sampai hari ini. Kami mendorong Pemerintah Indonesia untuk segera merealisasikan pemulangan Mary Jane Veloso ke Filipina, tidak seperti wacana di pengambilan testimoni pada 2019, yang sampai sekarang belum terlaksana,” imbuh Iweng.
Muhammad Afif dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengungkapkan bahwa pemulangan Mary Jane ke Filipina setidaknya bisa membebaskannya dari hukuman mati karena Filipina tidak mengadopsi hukuman mati.
Selain itu, ujar Afif, skema pemindahan narapidana yang diterapkan kepada Mary Jane merupakan sebuah pesan bagi negara-negara retensionis yang menghukum WNI di luar negeri agar melakukan hal yang sama, sebagaimana yang Indonesia lakukan kepada Mary Jane.
Afif juga menekankan bahwa hal tersebut bisa menjadi momentum bagi Indonesia untuk bisa menghapuskan skema hukuman mati di Tanah Air.
“Negara tetangga dekat Indonesia, Malaysia. Misalnya, populasi WNI yang mendapatkan hukuman mati, sekitar 70-80 orang. Pesan ini juga merupakan upaya dalam konteks global bahwa Indonesia turut serta dalam menghapus hukuman mati meski secara de facto," katanya.
"Sehingga hal ini berkaitan dengan penyesuaian politik luar negeri Indonesia, yang saat ini masih mempertahankan hukuman mati dan memilih abstain dalam pengambilan keputusan terakhir di PBB tentang penghapusan hukuman mati. Terkait dengan upaya untuk meninggalkan hukuman mati itu sikapnya Indonesia justru malah abstain,” tutur Afif.
Dorongan Indonesia untuk segera menghapus hukuman mati juga berdasarkan perjalanan kasus Mary Jane dalam setiap tingkat peradilan yang tidak memperhatikan perbaikan terhadap kerentanan terdakwa.
Ia mencontohkan, pemerintah mengabaikan perkembangan hukum di Filipina yang telah menangkap pelaku -- yang menjebak Mary Jane -- dalam kasus perdagangan manusia dan narkotika. Selain itu, katanya. permintaan disposisi dari Pemerintah Filipina pun diabaikan oleh Pemerintah Indonesia.
“Makanya di tengah kerapuhan sistem peradilan pidana dan kegagalan dalam menjamin prinsip peradilan yang adil dan tidak memihak itu menjadi alasan kuat khususnya kami di YLBHI dalam menghapus hukuman mati,” jelasnya.
Peneliti ICJR Maidinia mengungkapkan ada tiga syarat yang diminta oleh Pemerintah Indonesia dalam melakukan pemindahan narapidana Mary Jane ke Filipina, yakni Pemerintah Filipina menghargai keputusan pengadilan Indonesia, Mary Jane menjalani sisa hukuman, dan pembiayaan proses ditanggung pemerintah Filipina.
Namun, Maidina mempertanyakan syarat kedua dari Pemerintah Indonesia yang menyebutkan Mary Jane harus menjalani sisa hukuman. Pasalnya Filipina tidak mengadopsi hukuman mati dan juga tidak mengenal mekanisme pengubahan hukuman pidana mati. Maka dari itu, menurutnya, kejelasan hukum ini yang harus segera diselesaikan sebelum pemindahan narapidana Mary Jane dilakukan.
“Jadi sebenarnya sampai saat ini kita juga tidak mendapatkan kejelasan mengenai status hukum Mary Jane. Kalau dia masih terpidana hukuman mati, sedangkan Filipina tidak punya aturan pidana mati sehingga ada ketidakjelasan terkait dengan status hukumnya," katanya.
"Prof Yusril sampaikan bahwa dia bergantung pada Filipina padahal kalau mekanisme transfer of prisoner itu ada aspek hukuman yang harus direspons, apakah itu mekanismenya konversi, atau pengubahan hukuman yang harus jelas perjanjiannya. Kalau perjanjiannya cuma mensyaratkan sisa hukuman dijalankan, maka tidak jelas sisa hukuman yang mana karena hukuman Mary Jane sejak awal adalah pidana mati bukan pidana hukuman seumur hidup atau bukan pidana penjara,” ungkap Maidina. [gi/ab]
Forum