Para aktivis perempuan, hukum dan hak asasi manusia menyerukan penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga, yang dianggap melestarikan praktek diskriminasi gender, domestikasi perempuan, serta melanggengkan budaya patriarki yang menempatkan laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan.
Munculnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga menurut peneliti Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Pusham) Universitas Surabaya, Dian Noeswantari, merupakan bentuk intervensi negara terhadap wilayah privat warga negaranya. RUU yang merupakan agenda prioritas Program Legislasi nasional ini justru hadir untuk memindahkan kewajiban negara dalam memberikan jaminan kesejahteraan, perlindungan serta hak asasi warga negara ke dalam lingkup masing-masing keluarga.
“RUU ini memindahkan kewajiban negara kepada keluarga-keluarga, kewajiban dalam konteks pemenuhan hak. Harusnya kan negara punya kewajiban untuk menghormati, memenuhi, melindungi, dan memajukan hak-hak asasi warga negaranya. Nah, tapi Undang-Undang ini memindahkan itu semua ke dalam keluarga-keluarga,” ujar Dian.
Pada naskah akademik RUU ini menyebutkan, bahwa ketahanan keluarga dimaksudkan untuk menciptakan keadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dimana keluarga merupakan sumber kekuatan pendukung pembangunan bangsa dan negara. Dian mengatakan, penyusunan RUU ini justru mengabaikan kondisi masyarakat Indonesia secara keseluruhan, dan menarik ke belakang peradaban manusia Indonesia yang sudah cukup baik menempatkan perempuan sejajar dengan laki-laki daam berbagai fungsi sosial kemasyarakatan.
Dian menambahkan, masyarakat diajak untuk menolak RUU Ketahanan Keluarga menjadi Undang-Undang, karena akan ada banyak orang yang dikenai sanksi pidana bila tidak mampu memenuhi kewajiban dan perannya dalam keluarga.
“Dianggap bahwa pendidikan karakternya tidak jalan, (pendidikan) agamanya tidak bagus, itu mengembalikan lagi semua ke domestikasi perempuan, tapi base on religion, naskah akademiknya begitu. Jadi, perempuan itu dianggap terlalu banyak ke ruang publik, sehingga harus dikembalikan lagi ke domestikasinya. Kewajiban istri, kewajiban suami, ditulis semua. Nah, kalau ada sanksinya karena ini Undang-Undang, maka harus ada peraturan pelaksana dong. Nah, kalau tidak menjalankan kewajiban sebagai suami dan istri kan orang bisa dipidana,” imbuhnya.
Sementara itu, Ketua Human Right Law Studies (HRLS) Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Amira Paripurna mengatakan, penolakan RUU Ketahanan Keluarga berpotensi memunculkan banyak masyarakat yang menjadi korban peraturan ini. Bila RUU ini disahkan, maka negara telah melanggar hak asasi manusia karena telah masuk terlalu dalam ranah privat yakni kehidupan keluarga.
“Sebenarnya tidak hanya perempuan saja, malah justru perempuan, laki-laki, anak, itu menjadi korban yang sangat potensial akibat adanya Undang-Undang ini kalau misalkan sampai disahkan. Bahwa intervensi negara itu masuk ke semua ranah, jadi termasuk nanti hak asuh dan lain-lain itu juga ada upaya-upaya campur tangan negara yang menurut saya seharusnya itu beberapa sudah diatur di Undang-Undang yang ada,” kata Amira.
Rencananya, pernyataan sikap bersama elemen masyarakat di Surabaya ini akan diteruskan kepada pemerintah, melalui DPRD dan pemerintah daerah. [pr/ka]