JAKARTA —
Peraturan baru ini telah memicu kecaman tajam dengan para aktivis mengatakan bahwa peraturan itu diskriminatif, yang tampaknya sesuai dengan kaidah Islam, merongrong reputasi pluralism di Indonesia.
Di kota Lhokseumawe Aceh, kampanye moral itu terus berlanjut. Walikota Lhokseumawe, Suadi Yahya mengatakan bahwa moral penduduk setempat telah merosot – dan adalah tidak sopan bagi perempuan untuk dibonceng mengangkang di sepeda motor.
Para pemuka agama telah menyatakan dukungan bagi peraturan baru itu, tetapi berbagai organisasi perempuan mengatakan aturan itu tidak masuk akal dan tidak adil. Mereka mengatakan peraturan setempat yang diberlakukan atas nama agama dan moralitas dampaknya terhadap perempuan tidak proporsional.
Andi Yetriyani dari Komnas Perempuan mengatakan bahwa peraturan itu adalah kemunduran besar bagi Aceh dan bagi Indonesia.
“Pada dasarnya ini adalah peraturan yang diskriminatif terhadap perempuan, ini juga meremehkan seluruh gerakan bagi memajukan HAM di Indonesia,” ungkap Yetriyani.
Jadi kenapa kaum perempuan Aceh tidak turun ke jalan? Yetriyani mengatakan hal itu tidak terlalu mudah. Ia menjelaskan, "Peraturan ini diberlakukan berdasarkan Syaria, jadi banyak rakyat Indonesia tidak berani memprotes karena mereka akan dikatakan anti Islam."
Berbagai organisasi perempuan di Aceh mengatakan peraturan daerah itu adalah membuang-buang uang saja – karena akan lebih banyak polisi moral yang direkrut untuk memberlakukannya.
Mereka mengemukakan dana daerah itu lebih baik digunakan untuk meningkatkan kesehatan dan pendidikan.
Aceh diberi otonomi ketika kesepakatan damai antara pemerintah pusat dan pihakseparatis Aceh tercapai di Helsinki tahun 2005.
Sejak kesepakatan itu, yang dilanjutkan dengan pemberlakuan syaria, laporan mengenai pelanggaran HAM terus meningkat.
Andreas Harsono dari Human Rights Watch mengatakan sejumlah peraturan lokal di Aceh melanggar kebebasan berekspresi, berorganisasi, dan agama.
“Pelanggaran-pelanggaran ini tidak hanya bertentangan dengan hukum HAM internasional tapi juga melanggar perjanjian Helsinki antara Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka dimana kedua pihak sepakat untuk melindungi dan memajukan HAM,” kata Andreas.
Kementerian Dalam Negeri Indonesia mengatakan pihaknya akan meninjau dan kemungkinan mencabut peraturan berboncengan di sepeda motor itu. Kemendagri telah memblokir lebih dari 2.000 undang-undang lokal di seluruh Indonesia tetapi belum pernah membatalkan peraturan sharia di Aceh.
Pihak-pihak pengrilik mengatakan bahwa pemerintah pusat enggan mengecam pandangan Islami garis keras.
Tapi di Aceh, kebebasan menyatakan pendapat dan berorganisasi terus dibatasi dengan alasan kaidah-kaidah moralitas Islami. Berbagai kelompok agama minoritas juga mendapat tekanan. Hampir 30 gereja ditutup di propinsi itu tahun lalu.
Andreas Harsono mengatakan Islam di Indonesia mulai hampir sejajar dengan Pakistan – dan bahwa suara-suara moderat sekarang mulai dibenamkan.
Ia menambahkan, “Persoalannya semakin banyak para pembicara fundamentalis kini lebih lantang. Pertarungan masih berjalan.Kita masih belum tahu bagaimana akhirnya nanti. Meskipun kita kini gelisah melihat secara statistik jumlah peraturan diskriminatif meningkat. Saya khawatir ini akan menjadi era gelap yang sangat lama."
Di Indonesia, di mana mayoritas penduduknya berpandangan Islam moderat, Aceh adalah satu-satunya propinsi di Indonesia yang diperintah berdasarkan Syaria. Warga Aceh telah diberitahu bahwa peraturan baru ini diperkirakan akan diterapkan dalam beberapa bulan ini.
Di kota Lhokseumawe Aceh, kampanye moral itu terus berlanjut. Walikota Lhokseumawe, Suadi Yahya mengatakan bahwa moral penduduk setempat telah merosot – dan adalah tidak sopan bagi perempuan untuk dibonceng mengangkang di sepeda motor.
Para pemuka agama telah menyatakan dukungan bagi peraturan baru itu, tetapi berbagai organisasi perempuan mengatakan aturan itu tidak masuk akal dan tidak adil. Mereka mengatakan peraturan setempat yang diberlakukan atas nama agama dan moralitas dampaknya terhadap perempuan tidak proporsional.
Andi Yetriyani dari Komnas Perempuan mengatakan bahwa peraturan itu adalah kemunduran besar bagi Aceh dan bagi Indonesia.
“Pada dasarnya ini adalah peraturan yang diskriminatif terhadap perempuan, ini juga meremehkan seluruh gerakan bagi memajukan HAM di Indonesia,” ungkap Yetriyani.
Jadi kenapa kaum perempuan Aceh tidak turun ke jalan? Yetriyani mengatakan hal itu tidak terlalu mudah. Ia menjelaskan, "Peraturan ini diberlakukan berdasarkan Syaria, jadi banyak rakyat Indonesia tidak berani memprotes karena mereka akan dikatakan anti Islam."
Berbagai organisasi perempuan di Aceh mengatakan peraturan daerah itu adalah membuang-buang uang saja – karena akan lebih banyak polisi moral yang direkrut untuk memberlakukannya.
Mereka mengemukakan dana daerah itu lebih baik digunakan untuk meningkatkan kesehatan dan pendidikan.
Aceh diberi otonomi ketika kesepakatan damai antara pemerintah pusat dan pihakseparatis Aceh tercapai di Helsinki tahun 2005.
Sejak kesepakatan itu, yang dilanjutkan dengan pemberlakuan syaria, laporan mengenai pelanggaran HAM terus meningkat.
Andreas Harsono dari Human Rights Watch mengatakan sejumlah peraturan lokal di Aceh melanggar kebebasan berekspresi, berorganisasi, dan agama.
“Pelanggaran-pelanggaran ini tidak hanya bertentangan dengan hukum HAM internasional tapi juga melanggar perjanjian Helsinki antara Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka dimana kedua pihak sepakat untuk melindungi dan memajukan HAM,” kata Andreas.
Kementerian Dalam Negeri Indonesia mengatakan pihaknya akan meninjau dan kemungkinan mencabut peraturan berboncengan di sepeda motor itu. Kemendagri telah memblokir lebih dari 2.000 undang-undang lokal di seluruh Indonesia tetapi belum pernah membatalkan peraturan sharia di Aceh.
Pihak-pihak pengrilik mengatakan bahwa pemerintah pusat enggan mengecam pandangan Islami garis keras.
Tapi di Aceh, kebebasan menyatakan pendapat dan berorganisasi terus dibatasi dengan alasan kaidah-kaidah moralitas Islami. Berbagai kelompok agama minoritas juga mendapat tekanan. Hampir 30 gereja ditutup di propinsi itu tahun lalu.
Andreas Harsono mengatakan Islam di Indonesia mulai hampir sejajar dengan Pakistan – dan bahwa suara-suara moderat sekarang mulai dibenamkan.
Ia menambahkan, “Persoalannya semakin banyak para pembicara fundamentalis kini lebih lantang. Pertarungan masih berjalan.Kita masih belum tahu bagaimana akhirnya nanti. Meskipun kita kini gelisah melihat secara statistik jumlah peraturan diskriminatif meningkat. Saya khawatir ini akan menjadi era gelap yang sangat lama."
Di Indonesia, di mana mayoritas penduduknya berpandangan Islam moderat, Aceh adalah satu-satunya propinsi di Indonesia yang diperintah berdasarkan Syaria. Warga Aceh telah diberitahu bahwa peraturan baru ini diperkirakan akan diterapkan dalam beberapa bulan ini.