JAKARTA —
Empat lembaga negara yaitu Komisi Nasional Anti Kekekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Senin (26/8), meluncurkan laporan tim temuan dan rekomendasi terkait kasus Syiah di Sampang, Madura.
Anggota tim, Andy Yentriyani dari Komnas Perempuan mengatakan, konflik Sampang bersifat kompleks dan dipengaruhi oleh dinamika politik lokal dan nasional.
Saat ini, warga Syiah tambahnya telah kehilangan hak kemerdekaan beragama dan menjalankan ibadah sesuai agama dan keyakinannya.
Warga Syiah, lanjutnya, juga mengalami pemiskinan karena aktivitas ekonomi sehari-hari tidak berjalan, aset kebun dan sawah tidak bisa digarap dan tidak ada ganti rugi atas harta mereka yang terbakar atau rusak.
Tim tersebut juga mencatat bahwa kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan dan anak menjadi bagian integral dalam konflik Sampang. Anak-anak Syiah yang saat ini berada di pengungsian kehilangan tempat tinggal dan rasa aman, layanan pendidikan dan kesehatan yang layak serta kesempatan bermain karena mereka tidak bisa bisa keluar dari lokasi Rusunawa Puspo Agro, tempat pengungsian mereka.
Lebih lanjut Andi menjelaskan, tim juga berpendapat bahwa negara bersifat pasif dalam memastikan pemenuhan hak warga Syiah. Negara justru mengokohkan konflik dan melanggar hak, ujarnya.
Menurutnya, sikap tidak netral dalam mediasi dan ekspresi keberpihakan pada kelompok mayoritas diperburuk dengan posisi pengadilan yang mengkriminalkan korban, memvonis rendah bahkan bebas kelompok penyerang dan mengabaikan fakta-fakta penting bagi pemulihan korban.
Relokasi warga Syiah Sampang ke rumah susun Puspo Argo di Sidoarjo oleh Pemerintah Sampang bukan solusi untuk menyelesaikan konflik namun justru menjadi preseden buruk di masa mendatang. Untuk itu keempat lembaga negara itu mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengambil alih penanganan konflik Sampang.
“Kekerasan-kekerasan yang muncul memiliki maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok agama, dengan cara mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota, kelompok serta dengan melakukan pengusiran dan pemindahan penduduk secara paksa kepada kelompok Syiah Sampang. Semua ini mengindikasikan dan juga berpotensi pada kejahatan genosida sebagai diatur dalam Undang-undang tentang pengadilan HAM,” ujarnya.
Senin (26/8) adalah tepat satu tahun warga Syiah, Sampang, Madura menjadi pengungsi pasca penyerangan dan pengusiran rumah mereka pada 26 Agusuts 2012. Pada penyerangan itu, satu warga Syiah tewas, 10 orang luka kritis , puluhan orang luka-luka dan lebih 350 jiwa mengungsi.
Selama delapan bulan mereka mengungsi di Gedung Olahraga Sampang, sebelum akhirnya pada 20 Juni 2013 dipindahkan secara paksa oleh Pemerintah Kabupaten Sampang ke rumah Susun Puspo Agro Sidoarjo, Jawa Timur.
Beberapa waktu lalu, Presiden SBY telah menunjuk Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel, Profesor Abdul A’la sebagai ketua tim rekonsiliasi kasus Syiah Sampang.
Anggota Tim Rekonsiliasi Samsul Anam mengatakan, mengembalikan warga Syiah yang saat ini berada di pengungsian ke kampung halaman mereka merupakan yang terbaik.
Langkah itu, lanjut Samsul harus dilakukan secara hati-hati. Dalam dialog-dialog yang dilakukan tim lanjutnya penolakan dari masyarakat terhadap kedatangan warga penganut Syiah ini masih tinggi sehingga pemulangan belum dapat dilakukan.
Pihaknya, kata Anam, terus berupaya agar proses rekonsiliasi dapat berjalan dengan lancar dan baik.
“Fokus kita rekonsiliasi yang lebih permanen. Kalau kita paksakan sekarang dan terjadi letupan atau kekerasan kembali terjadi maka itu akan menyulitkan kerja kita, karena itu baiknya posisi sekarang ini kami menyampaikan bahwa resistensi masih belum dapat diatasi,” ujarnya.
Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y. Thohari menegaskan pemenuhan HAM dan hak konstitusional warga Syiah harus dijamin sepenuhnya oleh pemerintah agar mereka bisa kembali menjalankan aktivitas sehari-harinya dengan penuh rasa ama, nyaman dan tentram.
Hajriyanto mengatakan absennya negara dalam setiap konflik akan membuat Indonesia dipandang oleh dunia internasional sebagai negara yang gagal melindungi rakyatnya.
“Perbedaan-perbedaan agama dan keyakinan yang telah menjadi karakter bangsa Indonesia sejak dahulu kala semestinya dipandang sebagai kekayaan yang memperkokoh identitas nasional dan tidak boleh dianggap sebagai alasan dan alat untuk memecah persatuan bangsa,” ujarnya.
Anggota tim, Andy Yentriyani dari Komnas Perempuan mengatakan, konflik Sampang bersifat kompleks dan dipengaruhi oleh dinamika politik lokal dan nasional.
Saat ini, warga Syiah tambahnya telah kehilangan hak kemerdekaan beragama dan menjalankan ibadah sesuai agama dan keyakinannya.
Warga Syiah, lanjutnya, juga mengalami pemiskinan karena aktivitas ekonomi sehari-hari tidak berjalan, aset kebun dan sawah tidak bisa digarap dan tidak ada ganti rugi atas harta mereka yang terbakar atau rusak.
Tim tersebut juga mencatat bahwa kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan dan anak menjadi bagian integral dalam konflik Sampang. Anak-anak Syiah yang saat ini berada di pengungsian kehilangan tempat tinggal dan rasa aman, layanan pendidikan dan kesehatan yang layak serta kesempatan bermain karena mereka tidak bisa bisa keluar dari lokasi Rusunawa Puspo Agro, tempat pengungsian mereka.
Lebih lanjut Andi menjelaskan, tim juga berpendapat bahwa negara bersifat pasif dalam memastikan pemenuhan hak warga Syiah. Negara justru mengokohkan konflik dan melanggar hak, ujarnya.
Menurutnya, sikap tidak netral dalam mediasi dan ekspresi keberpihakan pada kelompok mayoritas diperburuk dengan posisi pengadilan yang mengkriminalkan korban, memvonis rendah bahkan bebas kelompok penyerang dan mengabaikan fakta-fakta penting bagi pemulihan korban.
Relokasi warga Syiah Sampang ke rumah susun Puspo Argo di Sidoarjo oleh Pemerintah Sampang bukan solusi untuk menyelesaikan konflik namun justru menjadi preseden buruk di masa mendatang. Untuk itu keempat lembaga negara itu mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengambil alih penanganan konflik Sampang.
“Kekerasan-kekerasan yang muncul memiliki maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok agama, dengan cara mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota, kelompok serta dengan melakukan pengusiran dan pemindahan penduduk secara paksa kepada kelompok Syiah Sampang. Semua ini mengindikasikan dan juga berpotensi pada kejahatan genosida sebagai diatur dalam Undang-undang tentang pengadilan HAM,” ujarnya.
Senin (26/8) adalah tepat satu tahun warga Syiah, Sampang, Madura menjadi pengungsi pasca penyerangan dan pengusiran rumah mereka pada 26 Agusuts 2012. Pada penyerangan itu, satu warga Syiah tewas, 10 orang luka kritis , puluhan orang luka-luka dan lebih 350 jiwa mengungsi.
Selama delapan bulan mereka mengungsi di Gedung Olahraga Sampang, sebelum akhirnya pada 20 Juni 2013 dipindahkan secara paksa oleh Pemerintah Kabupaten Sampang ke rumah Susun Puspo Agro Sidoarjo, Jawa Timur.
Beberapa waktu lalu, Presiden SBY telah menunjuk Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel, Profesor Abdul A’la sebagai ketua tim rekonsiliasi kasus Syiah Sampang.
Anggota Tim Rekonsiliasi Samsul Anam mengatakan, mengembalikan warga Syiah yang saat ini berada di pengungsian ke kampung halaman mereka merupakan yang terbaik.
Langkah itu, lanjut Samsul harus dilakukan secara hati-hati. Dalam dialog-dialog yang dilakukan tim lanjutnya penolakan dari masyarakat terhadap kedatangan warga penganut Syiah ini masih tinggi sehingga pemulangan belum dapat dilakukan.
Pihaknya, kata Anam, terus berupaya agar proses rekonsiliasi dapat berjalan dengan lancar dan baik.
“Fokus kita rekonsiliasi yang lebih permanen. Kalau kita paksakan sekarang dan terjadi letupan atau kekerasan kembali terjadi maka itu akan menyulitkan kerja kita, karena itu baiknya posisi sekarang ini kami menyampaikan bahwa resistensi masih belum dapat diatasi,” ujarnya.
Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y. Thohari menegaskan pemenuhan HAM dan hak konstitusional warga Syiah harus dijamin sepenuhnya oleh pemerintah agar mereka bisa kembali menjalankan aktivitas sehari-harinya dengan penuh rasa ama, nyaman dan tentram.
Hajriyanto mengatakan absennya negara dalam setiap konflik akan membuat Indonesia dipandang oleh dunia internasional sebagai negara yang gagal melindungi rakyatnya.
“Perbedaan-perbedaan agama dan keyakinan yang telah menjadi karakter bangsa Indonesia sejak dahulu kala semestinya dipandang sebagai kekayaan yang memperkokoh identitas nasional dan tidak boleh dianggap sebagai alasan dan alat untuk memecah persatuan bangsa,” ujarnya.