JAKARTA —
N-Peace, sebuah jaringan internasional untuk program pendampingan perdamaian yang dikelola oleh Badan PBB untuk Pembangunan Dunia (UNDP) sejak 2010, untuk kedua kalinya akan memberikan penghargaan N-Peace Awards kepada sejumlah aktivis di kawasan Asia Pasifik yang gigih dalam pencegahan konflik dan memperjuangkan perdamaian.
Salah satu penerima penghargaan itu adalah aktivis perempuan asal Indonesia, Rotua Valentina Sagala dari lembaga Institut Perempuan. Valentina, bersama tujuh orang lainnya dari Sri Lanka, Timor Leste, Nepal, Afghanistan dan Filipina, akan menerima penghargaan N-Peace Awards 2013 pada awal Oktober mendatang di Bangkok, Thailand.
Sebanyak lebih dari 90 orang aktivis dinominasikan berdasarkan kepemimpinan dan kontribusi mereka terhadap perdamaian di negara masing-masing. Melalui dukungan yang diperoleh secara daring dengan lebih dari 70.000 suara dari enam negara di kawasan Asia Pasifik, akhirnya terpilih 8 orang aktivis yang akan menerima N-Peace Awards 2013.
Valentina sendiri akan menerima penghargaan untuk kategori Role Model for Peace atau Figur Panutan untuk Perdamaian.
“Penghargaan ini bermakna untuk lebih menyemangati agar kita bisa bekerja lebih baik lagi untuk isu ini. Isu Perempuan, Perdamaian dan Keamanan (Women, Peace and Security) adalah salah satu isu penting yang diperjuangkan oleh seluruh feminis di dunia secara global termasuk di Indonesia,” ujarnya.
Aktivis perempuan yang akrab disapa Valen ini adalah pendiri Institut Perempuan, sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) perempuan pertama di Bandung, Jawa Barat, yang berdiri sejak 1998. Organisasi ini memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender bagi perempuan.
“Kasus-kasus yang kami dampingi banyak mulai dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), kasus pemerkosaan dan macam-macam. Kami benar-benar mendampingi korban secara menyeluruh mulai dari memberikan bantuan hukum, psikososial, memberikan tempat penampungan, hingga pemulihan dan proses penguatan bagi korban. Bantuan hukum yang diberikan mulai dari membantu korban melapor ke polisi, kasusnya ditangani dan ada putusan pengadilan,” ujarnya akhir pekan lalu.
Pada awal keberadaannya, ujar Valen, organisasi ini dijalankan dengan keanggotaan sukarela dan pendanaan dilakukan secara mandiri. Institut Perempuan memberikan pelayanan langsung kepada perempuan dan anak-anak korban kekerasan.
“Ada beberapa tahun dimana kami memilih untuk mendanai diri kami sendiri, semua yang bekerja berdasarkan prinsip sukarela dan kami harus bekerja ke sana ke mari. Pasca 2005 kami sudah tidak lagi menangani kasus secara langsung,” ujarnya.
Kini setelah tidak lagi melakukan pendampingan secara langsung terhadap perempuan dan anak korban kekerasan, Institut Perempuan telah berkembang menjadi organisasi yang konsisten melakukan advokasi pada undang-undang perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak, memantau perumusan kebijakan dan penegakan hukum, dan juga menjalankan sekolah bagi feminis.
“Sejak 2002 kami mulai membuat sekolah yang memberikan program pendidikan feminis untuk kalangan akar rumput dan aktivis sosial. Tujuan kami adalah menjadikan gerakan feminis ini sebagai gerakan yang inklusif. Ini menjadi pekerjaan rumah kita karena gerakan ini sangat mungkin menjadi eksklusif dan dianggap semata dilakukan oleh beberapa orang saja. Orang merasa takut untuk terlibat karena mereka tidak paham,” ujarnya.
Salah satu penerima penghargaan itu adalah aktivis perempuan asal Indonesia, Rotua Valentina Sagala dari lembaga Institut Perempuan. Valentina, bersama tujuh orang lainnya dari Sri Lanka, Timor Leste, Nepal, Afghanistan dan Filipina, akan menerima penghargaan N-Peace Awards 2013 pada awal Oktober mendatang di Bangkok, Thailand.
Sebanyak lebih dari 90 orang aktivis dinominasikan berdasarkan kepemimpinan dan kontribusi mereka terhadap perdamaian di negara masing-masing. Melalui dukungan yang diperoleh secara daring dengan lebih dari 70.000 suara dari enam negara di kawasan Asia Pasifik, akhirnya terpilih 8 orang aktivis yang akan menerima N-Peace Awards 2013.
Valentina sendiri akan menerima penghargaan untuk kategori Role Model for Peace atau Figur Panutan untuk Perdamaian.
“Penghargaan ini bermakna untuk lebih menyemangati agar kita bisa bekerja lebih baik lagi untuk isu ini. Isu Perempuan, Perdamaian dan Keamanan (Women, Peace and Security) adalah salah satu isu penting yang diperjuangkan oleh seluruh feminis di dunia secara global termasuk di Indonesia,” ujarnya.
Aktivis perempuan yang akrab disapa Valen ini adalah pendiri Institut Perempuan, sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) perempuan pertama di Bandung, Jawa Barat, yang berdiri sejak 1998. Organisasi ini memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender bagi perempuan.
“Kasus-kasus yang kami dampingi banyak mulai dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), kasus pemerkosaan dan macam-macam. Kami benar-benar mendampingi korban secara menyeluruh mulai dari memberikan bantuan hukum, psikososial, memberikan tempat penampungan, hingga pemulihan dan proses penguatan bagi korban. Bantuan hukum yang diberikan mulai dari membantu korban melapor ke polisi, kasusnya ditangani dan ada putusan pengadilan,” ujarnya akhir pekan lalu.
Pada awal keberadaannya, ujar Valen, organisasi ini dijalankan dengan keanggotaan sukarela dan pendanaan dilakukan secara mandiri. Institut Perempuan memberikan pelayanan langsung kepada perempuan dan anak-anak korban kekerasan.
“Ada beberapa tahun dimana kami memilih untuk mendanai diri kami sendiri, semua yang bekerja berdasarkan prinsip sukarela dan kami harus bekerja ke sana ke mari. Pasca 2005 kami sudah tidak lagi menangani kasus secara langsung,” ujarnya.
Kini setelah tidak lagi melakukan pendampingan secara langsung terhadap perempuan dan anak korban kekerasan, Institut Perempuan telah berkembang menjadi organisasi yang konsisten melakukan advokasi pada undang-undang perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak, memantau perumusan kebijakan dan penegakan hukum, dan juga menjalankan sekolah bagi feminis.
“Sejak 2002 kami mulai membuat sekolah yang memberikan program pendidikan feminis untuk kalangan akar rumput dan aktivis sosial. Tujuan kami adalah menjadikan gerakan feminis ini sebagai gerakan yang inklusif. Ini menjadi pekerjaan rumah kita karena gerakan ini sangat mungkin menjadi eksklusif dan dianggap semata dilakukan oleh beberapa orang saja. Orang merasa takut untuk terlibat karena mereka tidak paham,” ujarnya.