JAKARTA —
Enam belas organisasi perempuan di Aceh yang tergabung dalam Jaringan Pemantau 231 menyatakan sepanjang 2011 hingga 2012, terdapat 561 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Aceh.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan kasus yang dominan terjadi yakni 413 kasus atau 74 persen. Selebihnya adalah kekerasan komunitas termasuk kasus pemerkosaan dan juga kasus kekerasan yang dialami perempuan Aceh berkaitan dengan penerapan syariah Islam.
Sebanyak 98 dari 413 kasus KDRT adalah kekerasan seksual. Pemerkosaan oleh anggota keluarga yang masih memiliki hubungan darah tercatat 27 kasus.
Juru bicara Jaringan Pemantau 231, Samsidar mengatakan Selasa (4/6), perlindungan terhadap perempuan di Aceh masih minim. Pemerintah Aceh belum melihat kekerasan tehadap perempuan, khususnya kekerasan dalam ranah domestik penting untuk diatasi dengan berbagai upaya.
Aparat penegak hukum pun, lanjut Samsidar, tidak memiliki perspektif yang baik tentang perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban. Hal itu, tambahnya, menyebabkan banyak sekali pelaku kekerasan terhadap perempuan di Aceh luput dari proses hukum sehingga tidak ada efek jera bagi mereka.
Samsidar menambahkan, sejumlah peraturan daerah atau Qanun bahkan himbauan dan peraturan yang dikeluarkan oleh walikota dan bupati justru menyebabkan perempuan rentan terhadap tindak kekerasan.
“Ada proses-proses razia kemudian para perempuan-perempuan digiring atau dihakimi di depan publik karena mereka tidak memakai (pakaian) yang sesuai. Sebenarnya saya juga tahu yang sesuai yang bagaimana karena ukuran pastinya juga tidak ada, yang sesuai dipahami oleh saat itu oleh pelaku razia,” ujarnya dalam sebuah acara di Jakarta.
“Atau ada kemudian kekerasan pelaku khalwat, pasangan yang duduk berduaan di tempat sepi, dia ditangkap karena melanggar Qanun Aceh tentang khalwat di mana tanpa indikasi apapun untuk duduk saja sudah menjadi bagian yang terlanggar di Aceh. Umumnya mereka kemudian mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi seperti diguyur air comberan, diarak, dihina, dicaci maki.”
Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Masruhah menyatakan, pemerintah Aceh dalam membuat sebuah peraturan haruslah menjunjung nilai keadilan, kesetaraan, anti diskriminasi dan pemuliaan hak.
Pemerintah Aceh, ujarnya, juga harus peduli terhadap pemenuhan hak-hak perempuan dan anak yang menjadi korban.
“Maka korban bisa mendapat akses keadilan, akses pemulihan dan akses kebenaran jadi hak-hak korban bisa diambil, bisa dimiliki dengan baik,” ujarnya.
Sementara itu, Asisten Deputi Penanganan Masalah Sosial Perempuan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Hasan, menyatakan akan berkoordinasi dengan pemerintah Aceh terkait kekerasan terhadap perempuan di wilayah itu.
Hasan juga mengakui bahwa memang kebijakan yang ada saat ini belum maksimal memberikan perlindungan terhadap perempuan sehingga pihaknya akan melakukan revisi terhadap peraturan yang ada.
“Kadang-kadang kebijakan itu tidak ada manfaatnya untuk perempuan itu sendiri, makanya kita anggap masih diskriminatif, belum terpenuhi kebutuhan perempuan. Akses kontrol dan manfaat juga menjadi suatu pegangan bagi kita apakah kebijakan itu diskrimantif atau tidak,” ujarnya.
Catatan dua tahunan Jaringan Pemantauan 231 juga menggambarkan kondisi perempuan korban seksual pada masa konflik, yang hingga kini masih dalam keadaaan trauma dan dikucilkan serta hidup dalam kemiskinan dan kesehatan yang buruk. Mereka masih menunggu keadilan yang dijanjikan pemerintah.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan kasus yang dominan terjadi yakni 413 kasus atau 74 persen. Selebihnya adalah kekerasan komunitas termasuk kasus pemerkosaan dan juga kasus kekerasan yang dialami perempuan Aceh berkaitan dengan penerapan syariah Islam.
Sebanyak 98 dari 413 kasus KDRT adalah kekerasan seksual. Pemerkosaan oleh anggota keluarga yang masih memiliki hubungan darah tercatat 27 kasus.
Juru bicara Jaringan Pemantau 231, Samsidar mengatakan Selasa (4/6), perlindungan terhadap perempuan di Aceh masih minim. Pemerintah Aceh belum melihat kekerasan tehadap perempuan, khususnya kekerasan dalam ranah domestik penting untuk diatasi dengan berbagai upaya.
Aparat penegak hukum pun, lanjut Samsidar, tidak memiliki perspektif yang baik tentang perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban. Hal itu, tambahnya, menyebabkan banyak sekali pelaku kekerasan terhadap perempuan di Aceh luput dari proses hukum sehingga tidak ada efek jera bagi mereka.
Samsidar menambahkan, sejumlah peraturan daerah atau Qanun bahkan himbauan dan peraturan yang dikeluarkan oleh walikota dan bupati justru menyebabkan perempuan rentan terhadap tindak kekerasan.
“Ada proses-proses razia kemudian para perempuan-perempuan digiring atau dihakimi di depan publik karena mereka tidak memakai (pakaian) yang sesuai. Sebenarnya saya juga tahu yang sesuai yang bagaimana karena ukuran pastinya juga tidak ada, yang sesuai dipahami oleh saat itu oleh pelaku razia,” ujarnya dalam sebuah acara di Jakarta.
“Atau ada kemudian kekerasan pelaku khalwat, pasangan yang duduk berduaan di tempat sepi, dia ditangkap karena melanggar Qanun Aceh tentang khalwat di mana tanpa indikasi apapun untuk duduk saja sudah menjadi bagian yang terlanggar di Aceh. Umumnya mereka kemudian mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi seperti diguyur air comberan, diarak, dihina, dicaci maki.”
Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Masruhah menyatakan, pemerintah Aceh dalam membuat sebuah peraturan haruslah menjunjung nilai keadilan, kesetaraan, anti diskriminasi dan pemuliaan hak.
Pemerintah Aceh, ujarnya, juga harus peduli terhadap pemenuhan hak-hak perempuan dan anak yang menjadi korban.
“Maka korban bisa mendapat akses keadilan, akses pemulihan dan akses kebenaran jadi hak-hak korban bisa diambil, bisa dimiliki dengan baik,” ujarnya.
Sementara itu, Asisten Deputi Penanganan Masalah Sosial Perempuan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Hasan, menyatakan akan berkoordinasi dengan pemerintah Aceh terkait kekerasan terhadap perempuan di wilayah itu.
Hasan juga mengakui bahwa memang kebijakan yang ada saat ini belum maksimal memberikan perlindungan terhadap perempuan sehingga pihaknya akan melakukan revisi terhadap peraturan yang ada.
“Kadang-kadang kebijakan itu tidak ada manfaatnya untuk perempuan itu sendiri, makanya kita anggap masih diskriminatif, belum terpenuhi kebutuhan perempuan. Akses kontrol dan manfaat juga menjadi suatu pegangan bagi kita apakah kebijakan itu diskrimantif atau tidak,” ujarnya.
Catatan dua tahunan Jaringan Pemantauan 231 juga menggambarkan kondisi perempuan korban seksual pada masa konflik, yang hingga kini masih dalam keadaaan trauma dan dikucilkan serta hidup dalam kemiskinan dan kesehatan yang buruk. Mereka masih menunggu keadilan yang dijanjikan pemerintah.