Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Bupati Penajam Paser Utara, Abdul Gafur Mas’ud, memperkuat dugaan politik dinasti rawan tindak korupsi. Kalimantan Timur adalah contoh penerapan praktik dinasti politik dalam skala masif.
Dosen yang juga peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI), Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman, Samarinda, Kalimantan Timur, Herdiansyah Hamzah meyakini dinasti politik adalah pintu masuknya korupsi. Potret oligarki politik di Kaltim semacam ini, kata dia, telah lama terjadi.
“Lingkaran kekuasaan yang diisi keluarga dan kerabat merupakan faktor utama penyubur perilaku korup. Segala perangkat dan sektor jaringan dalam genggaman segelintir orang dan golongan, bahkan politik dinasti kian bermertafora dalam berbagai bentuk, bukan lagi hubungan darah semata, namun juga merambah pada relasi perkawanan,” kata Herdiansyah.
Penangkapan Abdul Gafur Mas'ud, adalah OTT kepala daerah keempat yang dilakukan oleh KPK di Kalimantan Timur. Sebelumnya KPK juga pernah menjaring Syaukani, eks Bupati Kutai Kertanegara, Rita Widyasari eks Bupati Kutai Kertanegara 2010-2015 yang juga anak Syaukani, dan Ismunandar eks Bupati Kutai Timur. Seluruh pejabat yang tertangkap KPK di Kaltim ini, menerapkan politik dinasti di wilayah mereka.
Suap Proyek dan Izin
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata menerangkan Abdul Gafur Mas'ud telah ditangkap pada Rabu (12/1) di Jakarta, bersama sejumlah orang kepercayaannya, yaitu Mulyadi, Edi, Jusman.
“Diduga adalah orang pilihan dan kepercayaan dari tersangka AGM untuk dijadikan sebagai representasi dalam menerima maupun mengelola sejumlah uang dari berbagai proyek, untuk selanjutnya digunakan untuk keperluan tersangka AGM,” kata Marwata, dalam keterangan pers Kamis (13/1) malam.
Empat pejabat di Kabupaten PPU, bendahara DPC Partai Demokrat Balikapapan dan satu pemberi suap telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Uang suap ini terkait pengadaan barang dan jasa serta perizinan pemanfaatan sumber daya alam. Nilai pengadaan barang dan jasanya sekitar Rp112 miliar dalam proyek multi-years peningkatan jalan Sotek-Bukit Subur dan pembangunan gedung perpustakaan Rp9,9 miliar.
Sedangkan terkait perizinan, tersangka diduga menerima uang untuk penerbitan beberapa perizinan, seperti HGU lahan sawit di Kabupaten PPU dan perizinan bleach plant (pemecah batu) pada Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang Kabupaten PPU.
Pengawasan Dinasti Politik
SAKSI Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman meminta penegakan hukum yang dilakukan terhadap kasus korupsi Bupati PPU harus dilakukan dengan transparan. Selain itu, KPK juga didesak mengusut tuntas siapapun yang terlibat dalam kasus ini, termasuk kemungkinan perkara lain yang sebelumnya kontroversial.
Herdiansyah juga mengatakan, karena rawan korupsi, daerah-daerah dengan dinasti politik mestinya menerima pengawasan lebih.
“Kami meminta KPK secara ketat mengawasi daerah-daerah yang kental dengan pendekatan politik dinasti dalam mengelola daerah. Karena politik dinasti merupakan pintu masuk terjadinya tindak pidana korupsi,” ujarnya.
Herdiansyah juga mengatakan, KPK harus mempertimbangkan penggunaan delik pencucian uang, terutama terkait harta kekayaan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
“Hal ini diperlukan sebagai bagian dari upaya memiskinkan para koruptor,” tegasnya.
Dalam penelitian yang dipublikasikan pada 2020, Herdiansyah mencatat Bupati PPU Abdul Gafur Mas’ud adalah bagian dari dinasti politik di Kalimantan. Rudi Mas’ud, Ketua DPD Partai Golkar Kalimantan Timur yang saat ini juga anggota DPR RI. Hasanuddin Mas’ud, menjabat anggota DPRD Kalimantan Timur. Sedangkan Rahmad Mas’ud saat ini adalah Wali Kota Balikpapan.
Herdiansyah juga mencatat setidaknya ada enam dinasti politik di Indonesia yang terlibat dalam kasus korupsi. Mereka adalah dinasti Ratu Atut Chosiyah di Provinsi Banten, Syaukani Hassan Rais di Kabupaten Kutai Kartanegara, Atty Suharti di Kota Cimahi, Fuad Amin Imron di Kabupaten Bangkalan, Sri Hartini di Kabupaten Klaten, dan Yan Anton Ferdian di Kabupaten Banyuasin.
Dalam sepuluh tahun terakhir, Herdiansyah juga mencatat ada peningkatan jumlah dinasti politik dalam pemerintahan daerah. Pada kurun waktu 2010-2014, terdapat 61 daerah yang menerapkan praktik politik dinasti. Saat ini sudah mencapai 117 atau sekitar 21 persen dari jumlah daerah otonom.
Akumulasi Kekuasaan yang Koruptif
Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (PUKAT), Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman setuju jika politik dinasti dikatakan cenderung koruptif.
“Betul, memang politik dinasti ini menurut saya terbukti berkontribusi mendorong adanya korupsi. Rumusnya adalah, kekuasaan yang besar dengan pengawasan yang minim. Maka, kemungkinan korupsinya akan menjadi semakin besar,” kata Zaenur.
Politik dinasti itu mengakumulasi kekuatan politik di satu keluarga. Kepala daerah, pimpinan DPRD hingga pengusaha pemenang proyek pemerintah, bisa jadi adalah klan keluarga atau kawan. Dalam kasus Bupati Kutai Timur misalnya, istrinya duduk sebagai Ketua DPRD setempat, sehingga urusan-urusan pemerintahan diselesaikan di rumah, bukan di ruang publik.
Akumulasi kekuatan ini juga bertambah besar, ketika salah satu anggota keluarga duduk di DPR RI, DPRD Provinsi, hingga ke kabupaten atau kota.
“Politik di daerah dominan dikuasai oleh sebuah keluarga. Maka tidak ada kekuatan lain yang dapat melakukan kontrol secara efektif itu. Biasanya keluarga itu akan semakin bercokol dan menguasai jabatan-jabatan politik dan memegang proyek pengadaan barang dan jasa,” imbuh Zaenur.
Ia juga melihat, belakangan ini koruptor berupaya beradaptasi dengan upaya penegakan hukum. Ada tiga sisi yang disoroti Zaenur, yaitu cara berkomunikasi, transaksi dan pemanfaatan orang-orang dekat. Dari sisi komunikasi, koruptor cenderung menggunakan istilah-istilah khusus untuk menyebut uang ataupun nominal jumlahnya. Mereka juga menggunakan nomor telepon milik orang lain. Uang juga sering disamarkan misalnya sebagai bantuan keagamaan dan sejenisnya.
Dari sisi transaksi, koruptor cenderung mempercayakan proses itu kepada seseorang yang dekat dengannya.
“Mereka menggunakan rekening pihak lain. Kerabat, teman, keluarga, bawahan anak buah, sopir, dan asisten rumah tangga,” tambahnya.
Dalam kasus PPU, terbukti metode ini dipakai karena bupati mempercayakan pengelolaan uangnya, pada bendahara partai dari wilayah yang berbeda.
Karena itulah, menurut Zaenur aparat penegak hukum harus memperluas pengawasan jika indikasi korupsi ditemukan. Tidak hanya keluarga atau teman dekat pejabat, anak, anak buah, pegawai, ART dan juga sopir harus ikut ada dalam pengawasan.
Sejak awal, kata Zaenur, pihaknya sudah tidak sepakat dengan politik dinasti. Namun, Mahkamah Konstitusi telah menolak gugatan terkait ini, dengan alasan bahwa hak dipilih dan memilih merupakan hak asasi manusia.
“Maka cara yang bisa dilakukan adalah memperbaiki sistem politiknya agar menjadi inklusif. Ada demokratisasi di internal partai,” tambah Zaenur.
Selain itu, tentu saja mendidik pemilih agar lebih cermat menentukan dukungan politik mereka. Fakta bahwa politik dinasti berpotensi korup, harus menjadi pertimbangkan ketika pilihan dijatuhkan. [ns/ah]