Sekretaris Badan Geologi, Ediar Usman, menjelaskan hasil pemantauan terkini Gunung Awu mengindikasikan adanya peningkatan aktivitas vulkanik. Peningkatan ini mulai teramati jelas sejak bulan Oktober 2021. Tanda-tandanya, kata Ediar, adalah adanya peningkatan kegempaan vulkanik, yang mengindikasikan peningkatan tekanan magma di dalam tubuh gunung api.
“Dalam kondisi saat ini, potensi untuk Gunung Awu mengalami erupsi, mengalami peningkatan meskipun erupsi tidak dapat dipastikan waktunya kapan akan terjadi,” kata Ediar dalam sesi penjelasan resmi, Minggu (12/12).
Ancaman bahaya yang mungkin terjadi, lanjut dia, berupa lontaran dan aliran lava pijar maupun material piroklastik.
“Selain itu, ancaman bahaya lainnya adalah emisi gas beracun di sekitar area kawah.
Jika erupsi terjadi dan material jatuh di lereng gunung api, maka memiliki potensi terjadinya lahar atau turunnya lahar ketika hujan,” tambah Ediar.
Karena mempertimbangkan hasil pemantaun terkini dan analisa potensi bahayanya, Badan Geologi memutuskan menaikkan tingkat aktivitas gunung Awu, dari Level 1 atau Normal, menjadi Level 2 atau Waspada, mulai pukul 12.00 Waktu Indonesia Tengah (WITA).
Dalam tingkat aktivitas Waspada, masyarakat maupun wisatawan direkomendasikan tidak melakukan aktivitas dalam radius 1 kilometer dari kawah. Meski begitu, Badan Geologi juga meminta masyarakat tetap tenang, dan tidak terpancing isu-isu terkait peningkatan status itu sendiri.
Dengan berstatus Waspada, Gunung Awu berada dalam tingkat akivitas seperti Gunung Semeru di Lumajang, Jawa Timur, yang baru saja mengalami awan panas guguran pada 4 Desember 2021. Dalam sejarahnya, Gunung Awu pernah mengalami erupsi eksplosif besar pada tahun 1711, 1812, 1856, 1892, dan 1966.
Setelah istirahat selama 26 tahun, pada 12 Oktober 1992 Gunung Awu mengalami erupsi freatik. Dua belas tahun kemudian, yaitu pada tanggal 8-10 Juni 2004, Gunung Awu mengalami erupsi magmatik. Sebanyak 18.648 warga mengungsi akibat erupsi saat itu.
Paling Berbahaya di Sulut
Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Andiani, memastikan lembaganya sudah mengirim surat pemberitahuan kepada BNPB, Gubernur Sulawesi Utara, dan Bupati Sangihe, terkait kenaikan status ini. Kenaikan ini ditetapkan melalui pengamatan terus menerus hingga 11 Desember 2021, baik secara visual maupun instrumental.
“Erupsi Gunung Awu memiliki interval antara 1-100 tahun, dan memiliki potensi erupsi dengan eksplosivitas tinggi, serta secara historis termasuk gunung api yang paling banyak mengakibatkan korban jiwa, di antara gunung api lainnya di Sulawesi Utara,” kata Andiani dalam penjelasannya.
Menurut data, erupsi Gunung Awu merupakan yang paling mematikan keempat di Indonesia, dengan korban setidaknya 5.301 jiwa. Andiani juga menjelaskan, karakteristik erupsi Gunung Awu dapat bersifat magmatik, eksplosif, efusif dan freatik.
“Erupsi terakhirnya pada Juni 2004, menghasilkan kolom erupsi setinggi 2 kilometer di atas puncak dan menyisakan kubah lava di kawahnya, yang memiliki diameter sekitar 370 meter dan tinggi sekitar 30 meter,” lanjutnya.
PVMBG mencatat, tingkat kegempaan Gunung Awu pada September 2021 cenderung fluktuatif, dengan rata-rata lima kejadian per hari. Namun mulai Oktober, teramati peningkatan gempa vulkanik, khususnya vulkanik dangkal, berkisar antara 7-26 kejadian per hari. Gempa vulkanik dalam juga teramati meningkat sejak Oktober 2021.
Potensi bahaya utama Gunung Awu adalah erupsi magmatik, dengan lontaran material pijar, dan atau lontaran dan aliran piroklastik. Dapat juga berupa erupsi freatik, yang didominasi uap dan gas. Potensi pembongkaran kubah lava dapat terjadi, jika tekanan dalam sistem magmatik mengalami peningkatan signifikan.
“Potensi bahaya lainnya, dapat berupa emisi gas gunung berapi, seperti CCO, CO2, H2S, N2 dan CH4. Gas-gas tersebut dapat membahayakan jiwa, jika konsentrasi yang terhirup melebihi nilai ambang batas aman,” papar Andiani.
Sedangkan terkait Semeru, pasca awan panas guguran kedua pada 7 Desember 2021, PVMBG mencatat aktivitas serupa masih berpotensi terjadi ke depan. Namun, diperkirakan intensitas dan jarak luncurnya, lebih kecil dibanding awan panas guguran pada 4 Desember yang mengakibatkan korban jiwa.
Dari Yogyakarta, dilaporkan pada Minggu (12/12), Gunung Merapi juga mengalami awan panas guguran pada pukul 10.18 WIB, dengan jarak luncur 2.000 meter. Merapi sendiri masih berstatus Siaga sejak 5 November 2020. [ns/ah]