Warga Eritrea adalah kelompok pengungsi terbesar ketiga yang tiba di Eropa, setelah Suriah dan Afghanistan. Stefan Simanowitz dari Amnesty International mengatakan, sebagian besar adalah laki-laki muda yang melarikan diri dari wajib militer.
"Anak-anak , dari usia 17 atau 16 dipaksa ikut wajib militer, yang berlangsung selama 18 bulan, namun kenyataannya bisa berlangsung tanpa batas waktu. Kami berbicara kepada orang-orang yang baru pulang setelah melakukan wajib militer selama 10 sampai 15 tahun. Lainnya, ada yang memiliki anggota keluarga dengan wajib militer selama lebih dari dua dasawarsa," paparnya.
Sebuah komisi penyelidikan PBB awal tahun ini menggambarkan Eritrea sebagai salah satu rejim paling menindas di dunia. Pemerintah Eritrea membantah tuduhan yang dibuat di dalam laporan.
Amnesty mengatakan, wajib militer sama saja dengan kerja paksa dan siapa pun yang mencoba menghindari atau melarikan diri, ditahan dalam kondisi yang mengerikan.
"Jika mereka terlihat atau tertangkap, mereka ditembak dan dibunuh. Mereka dapat ditangkap dan disiksa. Banyak dari mereka dikurung dalam sel bawah tanah atau di petikemas untuk waktu yang lama sebagai hukuman karena mencoba menghindari wajib militer," tambah Simanowitz.
Amnesty mengatakan nasib yang sama kemungkinan akan dihadapi warga Eritrea yang telah melarikan diri ke luar negeri, dan kemudian dipaksa kembali.
Berbicara pada KTT Migrasi Uni Eropa - Afrika bulan lalu di Malta, Presiden Prancis Francois Hollande mengatakan rejim Eritrea harus ditentang.
Dia mengatakan dunia perlu memberikan tekanan maksimal
pada Eritrea, karena apa yang terjadi sangat serius. Tidak ada yang berbicara tentang itu. Eritrea menjadi negara yang semakin kosong karena warganya mengungsi.
Meskipun ada penawaran dari Inggris dan Denmark, pengungsi Eritrea berada di antara pengungsi pertama yang dimukimkan kembali dari Jerman ke Spanyol di bawah kebijakan baru pemukiman migran Uni Eropa. Setiap negara di Eropa menetapkan aturan suakanya sendiri. [ps/th]