Perwakilan anak-anak Indonesia menyampaikan belasan isu anak saat berdialog dengan Anggota Komite Hak Anak PBB, Mikiko Otani di Jakarta, Minggu (24/11). Antara lain anak korban kekerasan, anak penyandang disabilitas dan isu perkawinan usia anak.
Isu lainnya yang juga disampaikan dalam pertemuan tersebut yaitu perundungan di sekolah seperti yang disampaikan anak dari Kalimantan Barat yang tidak mau disebut namanya.
"Ada salah satu teman sekolah saya, dia bunuh diri dengan gantung diri. Salah satu faktornya, dia sering dibully di sekolahnya dan dia memang orangnya pendiam," tutur salah satu anak dalam peringatan 30 Tahun Konvensi Hak Anak di Jakarta, Minggu.
Anak lainnya juga menuturkan kesulitan mendapatkan hak-haknya karena aturan adat yang ketat di lingkungan mereka. Semisal tidak boleh sekolah di atas anak kepala suku mereka. Sejumlah anak juga mengeluhkan suara kurang didengar oleh pemerintah dan tidak dilibatkan dalam pembuatan kebijakan yang berkaitan dengan anak.
Hak Anak Untuk Didengar Merupakan Hak Dasar yang Dijamin Undang-Undang
Hal senada disampaikan Penasehat Tata Kelola Hak Anak Save the Children Indonesia, Ratna Yunita. Di samping itu, Hak anak untuk didengar dan menyampaikan pendapat merupakan hak dasar yang dijamin dalam pasal 12 Konvensi Hak Anak (KHA) yang telah diratifikasi di PBB pada tahun 1989. Salah satu negara yang meratifikasi yaitu Indonesia pada 1990.
"Partisipasi ini tidak sama dengan kehadiran, partisipasi artinya hadir dan memberi masukan pendapat. Dan itu yang masih menjadi tantangan di Indonesia. Dalam arti tidak hanya sekedar dikonsultasikan terhadap dokumen perencanaan. Tapi bagaimana juga bisa terlibat dalam pembangunan itu sendiri," jelas Ratna Yunita.
Ratna Yunita menambahkan lembaganya bersama organisasi lainnya yang tergabung dalam Koalisi Nasional NGO Pemantau Hak Anak juga mendorong pemerintah untuk segera menyampaikan laporan perkembangan pelaksanaan Konvensi Hak Anak (KHA) di Indonesia. Menurutnya, Indonesia hingga kini belum menyampaikan laporan KHA untuk periode V dan VI yaitu dari tahun 2007-2017.
"Fungsinya laporan negara itu untuk memastikan perkembangan dari komitmen negara untuk pemenuhan hak anak di Indonesia khususnya. Dan itu periodik dilaporkan ke Komite PBB setiap 5 tahun sekali. Dan artinya dalam periode 5 tahun diharapkan Indonesia memiliki perkembangan. Dari situ Komite PBB baru merekomendasikan apa saja yang harus ditindaklanjuti pemerintah," tambahnya.
Yunita mengatakan tidak ada hukuman dari Komite PBB bagi negara perkembangan pelaksanaan KHA mandek. Namun, pelaksanaan KHA ini dapat menjadi tolok ukur komitmen sebuah negara dalam pemenuhan hak anak.
Komite Hak Anak PBB Berharap Indonesia Tidak Terlambat Buat Laporan Perkembangan Pelaksanaan Hak Anak
Anggota Komite Hak Anak PBB, Mikiko Otani berharap pemerintah Indonesia tidak terlambat dalam membuat laporan perkembangan pelaksanaan KHA. Menurutnya, Komite Hak Anak PBB juga siap bekerjasama dengan pemerintah Indonesia untuk menemukan solusi-solusi dari persoalan anak seperti perundungan dan eksploitasi seksual.
"Karena banyak pemerintah yang terkesan menunda atau hati-hati mengirim laporan kepada kami. Padahal kami tidak hadir untuk mengkritik mereka tapi justru untuk membantu," jelas Mikiko usai bertemu anak-anak.
Mikiko menambahkan dirinya juga mengapresiasi anak-anak Indonesia yang memiliki kepedulian terhadap anak-anak Indonesia lainnya dan memberikan rekomendasi ke lembaganya. Namun, ia mengatakan lembaganya membutuhkan waktu untuk mengulas rekomendasi anak-anak Indonesia tersebut.
Dihubungi terpisah, Deputi Bidang Perlindungan Anak, Kementerian Perlindungan Anak (KP3A) Nahar, mengatakan akan mengecek ulang sudah sejauh mana pembuatan laporan pelaksanaan KHA. Nahar menyatakan kementeriannya juga siap bertemu dengan anak-anak Indonesia yang ingin menyampaikan aspirasi mereka terhadap pemerintah. (sm/em)