Senin pukul 1 siang saatnya anak-anak masuk sekolah. Namun Satria, Rain, dan Cepi, duduk di lantai dua masjid, menyempatkan melihat pemukiman mereka yang kini rata dengan tanah.
Mereka berbagi keluhan pasca penggusuran. Satria mengatakan peralatan sekolahnya ikut tergusur.
“Kayak seragam nggak ada. Jadi kan semuanya tergusur, tergilas, sepatu nggak ada. Ya terganggu sekali. Buat tidur juga terganggu,” jelas Satria.
Sementara Rain kehilangan seluruh buku pelajarannya.
“Keganggunya ya.. baju nggak ada, celana nggak ada, sepatu gimana? Makan gimana?,” kisah Rain.
“Buku pelajaran tergusur,” tambah Rain.
Untuk sekolah, ketiga siswa SMP kelas 7 ini mengandalkan belas kasihan orang-orang, ujar Cepi.
“Buku, baju, seragam, sepatu yang kayak gitu, nggak ada. Ikut hancur, ikut hilang. Sekarang mah cuma ngandelin donasi aja,” kisah Cepi.
Ketiganya adalah sebagian kecil dari 20-an anak Tamansari yang jadi korban penggusuran. Anak-anak ini ada yang siswa SMA, SMP, SD, bahkan balita.
Anak-anak bersama orang dewasa mengungsi di Masjid Al-Islam, satu-satunya bangunan tersisa di lingkungan mereka. Total ada 197 jiwa yang berbagi sesak.
1.200 Personel Turun untuk 200 Warga
Pemkot Bandung menurunkan ratusan Satpol PP dan sejumlah alat berat ketika menggusur kawasan Tamansari, Kamis (12/12) pagi. Petugas dibantu polisi dan TNI membongkar paksa rumah dan mengeluarkan barang-barang milik warga.
Petugas tidak membiarkan warga menyelamatkan harta benda mereka. Seperti diceritakan salah satu warga, Denok.
“Yang masih bisa diselamatkan masih ada. Ada warga yang akta lahirnya nggak ada. Ada yang motor dan kuncinya nggak ada,” jelas dia kepada VOA.
Sejumlah video yang viral di media sosial menunjukkan aparat mengejar atau memukul warga yang mempertahankan rumah mereka. Anak-anak bahkan menyaksikan kekerasan tersebut.
Ada 1.200 personel gabungan yang turun, enam kali lipat dari jumlah warga yang bertahan.
Pengacara publik LBH Bandung, Rifqi Zulfikar, menyebut tindakan tersebut “berlebihan”.
“Kondisi gentingnya sejauh mana? Alasan Kantibmas pun harus ditentukan secara cermat,” kata dia.
Tindakan petugas ini, ujar Rifqi, tidak disertai prosedur yang jelas serta melanggar rasa kemanusiaan.
“Nggak ada sama sekali sosialisasi misalnya penggunaan alat berat, pemagaran, dan bagaimana cara-cara warga memindahkan barangnya dari satu tempat ke tempat yang dituju. Tidak pernah ada satu pun yang kami temukan saat kejadian, satpol PP yang bisa menjelaskan itu secara jelas,” ujarnya.
Pemkot Eksekusi di Tengah Proses Hukum
Sengketa lahan di RW 11 Tamansari Bandung bermula pada 2017. Saat itu, Pemkot Bandung mengajukan sertifikasi lahan dan akan membangun rumah deret di lokasi tersebut. Pada 2018, Pemkot telah menggusur sebagian warga dengan sejumlah ganti rugi.
Namun 30-an KK memilih bertahan. Pasalnya mereka mengklaim memiliki sebagian persil dari tahun 1963. Di sisi lain, Pemkot Bandung mengklaim punya catatan pembelian sejak 1920. Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada November 2019 melansir bahwa lahan tersebut ‘status quo’.
Warga pun menggugat Pemkot dengan UU Lingkungan Hidup karena diduga mengebor lahan tanpa Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL). Selain itu, warga menggugat surat keputusan kompensasi ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena merasa tidak dilibatkan. Gugatan kompensasi kini masuk tahap banding dan akan diputuskan pada 19 Desember 2019.
Sambil menunggu putusan, pendamping warga mengatakan saat ini fokus pada pemulihan psikis para korban. Setelah kondisi warga membaik, pihaknya akan menentukan langkah hukum selanjutnya.
Sementara bagi siswa SMP seperti Satria, Rain, dan Cepi, mereka ingin kehidupan mereka segera kembali normal.
“Bisa mempunyai rumah lagi dan semua barang-barang punya lagi sepertti semula,” harap Rain seraya ketiganya berangkat sekolah. [rt/lt]