Tautan-tautan Akses

ANFREL: Pemilu Myanmar 2020 Cerminkan Keinginan Rakyat


Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi mengibarkan bendera partai Liga Nasional Untuk Demokrasi dalam upacara untuk menandai hari pertama kampanye pemilu di markas sementara partai di Naypyitaw, Myanmar pada Selasa, 8 September 2020. (Foto: AP)
Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi mengibarkan bendera partai Liga Nasional Untuk Demokrasi dalam upacara untuk menandai hari pertama kampanye pemilu di markas sementara partai di Naypyitaw, Myanmar pada Selasa, 8 September 2020. (Foto: AP)

Pemilu Myanmar tahun lalu mencerminkan keinginan rakyat, dan militer tidak dapat dibenarkan menggunakan alasan cacat pemilu untuk merebut kekuasaan, kata sebuah kelompok pemantau internasional, Senin (17/5), dalam laporan akhirnya.

Jaringan Asia untuk Pemilu Bebas (ANFREL), salah satu dari dua kelompok pemantau pemilu asing terakreditasi, menilai pemungutan suara pada pesta demokrasi itu memang tidak sebebas dan seadil pemungutan suara pada 2015. Namun, menurut kesimpulan mereka, hasil pemilihan umum 2020 pada umumnya, mewakili keinginan rakyat Myanmar.

“Meskipun pandemi COVID-19 berkecamuk, 27,5 juta orang telah memberikan suara mereka berkat kerja keras para petugas pemilu dan kesehatan. Suara mereka tidak bisa dibungkam," sebut laporan itu.

Belum ada tanggapan junta militer atas laporan ANFREL itu. Kantor berita Reuters telah menghubungi juru bicara junta militer, namun belum mendapat jawaban.

Militer sebelumnya mengatakan bahwa pihaknya telah menemukan pelanggaran-pelanggaran besar terhadap pemilu itu, di mana Liga Nasional untuk Demokrasi – partainya Aung San Suu Kyi -- mengalahkan partai promiliter. Mereka mengambil alih kekuasaan setelah komisi pemilu membantah tuduhan itu. Militer menyatakan akan mengadakan pemilihan baru dalam waktu dua waktu lagi.

ANFREL, yang mengaku memiliki para pengamat di 13 dari 14 negara bagian dan wilayah Myanmar, menggambarkan tindakan militer untuk merebut kekuasaan tidak dapat dibenarkan.

Kudeta itu menjerumuskan Myanmar ke dalam kekacauan karena memicu protes harian, pemogokan dan kehadiran milisi antijunta. Sebuah kelompok HAM mengatakan, pasukan keamanan telah menewaskan sedikitnya 796 orang sejak kudeta berlangsung – sebuah angka yang dibantah militer.

Carter Center yang berbasis di AS, yang juga melakukan pengawasan pemilu Myanmar tahun lalu, sebelumnya mengatakan bahwa para pemilih telah secara bebas dapat mengekspresikan keinginan mereka. [ab/uh]

Recommended

XS
SM
MD
LG