Menjelang tenggat waktu 4 Agustus atas penerapan putaran pertama sanksi baru AS terhadap Iran, perang kata-kata antara Iran dan Amerika telah mendorong beberapa komentator Timur Tengah mempertanyakan, apakah konflik mungkin pecah.
Mata uang Iran, Riyal, juga jatuh ke rekor terendah dengan nilai 95.000 terhadap dolar, anjlok lebih dari setengah sejak awal tahun, hal ini menekan pemerintah untuk melakukan sesuatu.
Presiden Iran, Hassan Rouhani memicu spekulasi tentang bagaimana Iran bereaksi atas sanksi itu, ketika mengatakan, pada akhir pekan, perang antara Iran dan AS "akan menjadi perang terhebat dari semua perang," dan bahwa "perdamaian dengan Iran akan menjadi yang terpenting dari semua perjanjian perdamaian," membiarkan pintu terbuka untuk kedua pilihan itu.
Iran juga mengatakan pihaknya memberi waktu hingga 6 Agustus, bagi negara Eropa yang menandatangani kesepakatan nuklir 2015 (JCPOA) untuk menemukan cara yang memungkinkan Iran melanjutkan ekspor sebagian minyaknya.
Presiden AS Donald Trump yang tidak mau kalah, memasuki perang kata-kata ini dalam cuitannya di Twitter dengan memperingatkan Iran untuk “jangan pernah mengancam Amerika lagi atau Anda akan menderita akibat seperti yang pernah dialami sedikit negara dalam sejarah sebelumnya."
Baca juga: Trump Peringatkan Presiden Iran “Jangan Pernah Ancam Amerika”
Mantan Presiden Iran, Abolhassan Bani-Sadr mengatakan kepada VOA, kedua pemimpin telah memasuki tahap perang kata-kata, "karena tidak memiliki strategi nyata, hanya permainan dan retorika kekanak-kanakan. Jika salah satu dari mereka memiliki solusi," tegasnya, "seharusnya kita sudah tahu sekarang." [ps/jm]