Selasa (21/8) menandai satu tahun sejak Presiden AS Donald Trump meluncurkan strategi Asia Selatan yang berfokus pada Afghanistan. Sejak itu, Afghanistan telah mengalami beberapa kekerasan terburuk sejak invasi pimpinan AS, hampir 17 tahun lalu.
Pada 2017 ketika mengumumkan strategi itu Trump mengajukan alasan untuk tetap berada di Afghanistan dan tidak mengizinkan negara itu menjadi tempat berlindung bagi teroris yang sekali lagi akan menjadi ancaman bagi keamanan nasional AS.
"Saya merasakan frustrasi rakyat Amerika. Saya juga merasakan kekecewaan mereka atas kebijakan luar negeri yang menghabiskan terlalu banyak waktu, energi, uang, dan yang paling penting, nyawa dengan berusaha membangun kembali negara-negara menurut citra kita sendiri," katanya ketika itu dan bertekad untuk mengakhiri pembangunan bangsa dan hanya memusatkan perhatian kepada kepentingan keamanan nasional AS.
Setahun setelah pengumuman strategi itu, para pejabat Afghanistan dan AS membela strategi itu dan menyebutnya sudah membawa hasil dalam hal membantu memajukan perundingan damai.
"Strategi Asia Selatan berhasil. Saya kira di bawah strategi Asia Selatan, kita meningkatkan tekanan militer pada Taliban melalui peningkatan kemampuan pasukan keamanan nasional Afghanistan, khususnya petugas-petugas khusus dan aset penerbangan mereka," kata Alice Wells , Wakil Menteri Luar Negeri untuk Biro Urusan Asia Selatan dan Tengah kepada sekelompok wartawan di Departemen Luar Negeri AS pada Juni.
"Strategi presiden telah menekankan kepada Taliban bahwa kita tidak akan membiarkan mereka memperoleh kemenangan militer, dan ada komitmen untuk tetap tetap berada di sana," kata Alice menambahkan.
Tapi analis Mathew P. Dearing dari National Defense University yang berbasis di Washington yakin masih terlalu dini untuk menilai efektivitas strategi tersebut. [my]