Tautan-tautan Akses

AS Dakwa 2 Orang Terkait Rencana Teror Terhadap Minoritas, Pejabat dan Infrastruktur


Logo aplikasi perpesanan Telegram tampak di layar ponsel dalam foto ilustrasi ini, 13 April 2018. (Foto: Ilya Naymushin/Reuters)
Logo aplikasi perpesanan Telegram tampak di layar ponsel dalam foto ilustrasi ini, 13 April 2018. (Foto: Ilya Naymushin/Reuters)

Departemen Kehakiman Amerika Serikat (AS) mengatakan, Senin (9/9), bahwa dua orang telah ditangkap dengan tuduhan menggunakan aplikasi pesan media sosial Telegram untuk menggerakkan kejahatan rasial dan tindakan kekerasan terhadap kelompok minoritas, pejabat pemerintah, dan infrastruktur penting di Amerika Serikat.

Menurut jaksa, keduanya dimotivasi oleh ideologi supremasi kulit putih.

Para terdakwa, yang diidentifikasi sebagai Dallas Humber dan Matthew Allison, menghadapi 15 dakwaan federal di Distrik Timur California. Dakwaan itu antara lain tuduhan melakukan kejahatan rasial dan pembunuhan pejabat federal, menyebarkan instruksi pembuatan bom dan berkonspirasi untuk memberikan dukungan material kepada teroris.

Humber, 34 tahun, dari Elk Grove, California, dan Allison, 37 tahun, dari Boise, Idaho ditangkap pada Jumat (6/9). Humber mengaku tidak bersalah atas dakwaan itu dalam persidangan di Sacramento pada Senin. Pengacaranya, Noa Oren, menolak mengomentari kasus tersebut usai pembacaan dakwaan pada Senin sore.

Belum jelas apakah Allison memiliki pengacara yang bisa memberi keterangan atas namanya.

Surat dakwaan tersebut menuduh keduanya memimpin 'Terrorgram', jaringan saluran dan obrolan grup di Telegram, dan meminta pengikutnya untuk menyerang orang-orang yang dianggap sebagai musuh orang-orang kulit putih, gedung-gedung pemerintah, fasilitas energi, dan target “bernilai tinggi” seperti politisi.

“Tindakan hari ini memperjelas bahwa departemen akan meminta pertanggungjawaban para pelaku, termasuk mereka yang bersembunyi di balik layar komputer, dalam upaya melakukan kekerasan yang bermotif bias,” kata Asisten Jaksa Agung Kristen Clarke, pejabat tinggi hak-hak sipil Departemen Kehakiman, dalam konferensi pers.

Desakan pasangan tersebut untuk melakukan kekerasan termasuk pernyataan seperti “Ambil Tindakan Sekarang” dan “Lakukan tugas Anda,” dan para pengguna yang melakukan tindakan untuk mendukung supremasi kulit putih diberitahu bahwa mereka biasa dikenal sebagai “Orang Suci,” kata jaksa.

Para demonstran berpawai memprotes supremasi kulit putih di Stone Mountain Village, 15 Agustus 2020. (Foto: Mike Stewart/AP))
Para demonstran berpawai memprotes supremasi kulit putih di Stone Mountain Village, 15 Agustus 2020. (Foto: Mike Stewart/AP))

Pejabat Departemen Kehakiman mengatakan Humber dan Allison menggunakan aplikasi tersebut untuk mengirimkan instruksi pembuatan bom dan untuk mendistribusikan daftar target potensial pembunuhan. Sejumlah pejabat yang termasuk dalam daftar target, antara lain hakim federal, senator dan mantan pengacara AS. Mereka juga menggunakan Telegram untuk merayakan tindakan atau rencana-rencana dari pengguna aktif Terrorgram. .

Sebuah film dokumenter berdurasi 24 menit yang diproduksi keduanya, berjudul “Teror Putih,” mendokumentasikan dan memuji sekitar 105 tindakan kekerasan supremasi kulit putih antara 1968 dan 2021, menurut dakwaan itu.

“Risiko dan bahaya yang ditimbulkannya sangat serius,” kata Asisten Jaksa Agung Matthew Olsen, pejabat tinggi keamanan nasional Departemen Kehakiman, mengenai pengguna Terrorgram.

Dia menambahkan, "Jangkauan mereka sampai ke internet karena platform yang mereka buat."

Juru bicara Telegram Remi Vaughn mengatakan: "Seruan untuk melakukan kekerasan tidak memiliki tempat di platform Telegram. Moderator menghapus beberapa saluran yang menggunakan variasi nama 'Terrorgram' ketika ditemukan beberapa tahun lalu. Konten serupa dilarang setiap kali muncul."

Telegram adalah aplikasi perpesanan yang memungkinkan percakapan satu lawan satu, obrolan grup, dan “saluran” besar yang memungkinkan orang menyiarkan pesan ke pelanggan. Meskipun digunakan secara luas sebagai alat pengiriman pesan di seluruh dunia, Telegram juga mendapat sorotan, termasuk temuan dari penyelidik Prancis bahwa aplikasi tersebut telah digunakan oleh ekstremis Islam dan penyelundup narkoba.

Pendiri dan CEO Telegram, Pavel Durov, ditahan oleh otoritas Prancis bulan lalu atas tuduhan mengizinkan penggunaan platform tersebut untuk aktivitas kriminal. Durov menanggapi tuduhan tersebut dengan sebuah postingan minggu lalu yang mengatakan bahwa dia seharusnya tidak menjadi sasaran secara pribadi dan berjanji untuk meningkatkan upaya memerangi kriminalitas di aplikasi tersebut. [ft/rs]

XS
SM
MD
LG