Meskipun menyatakan dukungan penuh untuk proses transisi pemerintahan di Timur Tengah dan Afrika Utara, Amerika Serikat dan Eropa masih canggung untuk ikut terlibat dalam proses transisi pemerintahan di Timur Tengah dan Afrika Utara. Mengapa Indonesia dinilai lebih dapat berperan strategis dalam hal ini?
Pemerintahan transisi yang dibentuk pasca tumbangnya rezim di Tunisia dan Mesir, tidak menjamin terciptanya pemerintahan pengganti yang demokratis di masa datang. Hal ini diungkapkan oleh anggota Dewan Penasihat Presiden untuk Bidang Luar Negeri, Hassan Wirajuda, dalam sebuah diskusi dengan para cendekiawan Muslim, di Jakarta, Senin sore.
Alasannya, Dewan Militer Mesir yang diserahkan tugas oleh Presiden Mubarak memang dimanjakan oleh peralatan serta jaminan kesejahteraan militer yang baik, atas jasa baik Camp David. Namun, kata Hassan, militer Mesir tidak punya pengalaman dalam politik; berbeda dengan militer Indonesia di masa lalu yang memiliki dwifungsi ABRI (TNI).
Lebih jauh mantan Menteri Luar Negeri ini menjelaskan, faktor ekonomi turut menjadi hambatan dalam proses transisi di Tunisia dan Mesir. Tidak heran, Amerika Serikat dan Eropa lebih mendorong Indonesia untuk berperan lebih banyak, karena Mesir dianggap dapat belajar dari kegagalan dan keberhasilan reformasi Indonesia tahun 1998.
Wirajuda mengatakan, “Kita mendengar kemarin dalam pertemuan G8, negara-negara Barat terutama Amerika Serikat dan Eropa sepakat untuk mengeluarkan 20 Miliar Dollar AS untuk membantu transisi demokrasi Timur Tengah dan Afrika Utara. Tapi percayalah, mereka ada kecanggungan karena mereka bicara mengapa tidak Indonesia yang berperan lebih banyak, berbagi kegagalan dan keberhasilan transisi pemerintahan?”
Menurut Hassan, peranan Indonesia tidak hanya di tingkat pemerintah, tetapi juga antarmasyarakat; terutama dari dua ormas Islam terbesar seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
“Dalam tataran pertama antarpemerintah, juga level masyarakat. Kita sudah memulai IPD dengan 20 tokoh Mesir, yang memiliki parpol baru, tokoh-tokoh pendemo di Tahrir Square dan sejumlah elemen pemerintah. Tetapi lenbaga seperti NU, Muhammadiyah dan ICIS (International Conference on Islamic Scholars) bisa berperan. Ini ada basisnya di piagam baru OKI, yang disahkan di Maroko tahun 2006,” ujar Hassan Wirajuda.
Dalam piagam OKI (Organisasi Konferensi Islam) itu, kata Hassan, telah dicantumkan bahwa organisasi masyarakat sipil dari negara anggota OKI, diizinkan ikut serta dalam program tata kelola dan demokrasi pemerintahan baru, di negara anggota lain.
Di tempat yang sama, Sekretaris Jenderal International Conference on Islamic Scholars (ICIS), KH Hasyim Muzadi, turut meminta diplomat Indonesia lebih menguatkan peranannya, untuk bersama-sama dunia Islam mengawal dan membantu proses transisi damai dan demokratis di negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara. Terutama, untuk mendukung kemerdekaan Palestina sebagaimana yang disepakati dalam pertemuan Gerakan Non Blok di Bali, pekan lalu.
Hasyim mengatakan, “Jadi upaya-upaya yang dilakukan oleh Kementerian Luar Negeri mewakili Indonesia di Gerakan Non Blok diperkokoh, sehingga didorong untuk bisa mencari dukungan pada negara lain, utamanya menjelang Sidang Umum PBB, bulan September mendatang.”