Gedung Putih hari Jumat (26/1) menyatakan harapan bahwa ada kemajuan dalam pembicaraan mengenai pembebasan sisa sandera Hamas di Gaza, ketika utusan Presiden Joe Biden untuk Timur Tengah kembali ke Washington dari wilayah tersebut.
Juru bicara Dewan Keamanan Nasional John Kirby mengatakan Biden berbicara dengan Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sissi pada hari Jumat. Presiden AS juga berbicara dengan Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani dalam upaya membebaskan para sandera, kata Kirby.
Sementara itu, kepala CIA, William Burns, akan bertemu dengan mitranya dari Israel dan Mesir, serta Emir Qatar, mengenai pembebasan sandera yang tersisa, dan dalam upaya untuk menengahi gencatan senjata antara Israel dan Hamas di Gaza, demikian laporan media AS.
Utusan Biden untuk Timur Tengah, Brett McGurk, terlibat dalam diskusi "aktif" untuk memastikan pembebasan sandera, menurut Gedung Putih.
Qatar telah memainkan peran penting dalam perundingan tersebut sejak November, ketika kelompok sandera pertama dibebaskan dari Gaza.
Pihak-pihak yang bertikai sedang mencoba untuk merundingkan gencatan senjata baru yang memungkinkan pembebasan lebih banyak sandera dan pembebasan warga Palestina yang ditahan oleh Israel. Sekitar 100 sandera yang ditahan oleh Hamas dan 240 warga Palestina yang dipenjara oleh Israel dibebaskan dalam gencatan senjata yang berlangsung pada akhir November lalu.
Namun, sampai saat ini belum ada kesepakatan gencatan senjata baru yang tercapai.
Mahkamah Internasional Perintahkan Israel Cegah Genosida di Gaza
Sementara itu, dalam keputusan mayoritas yang dihadiri oleh setidaknya 15 dari 17 hakim pada hari Jumat (26/1), Mahkamah Internasional atau ICJ di Den Haag, memerintahkan Israel untuk mencegah tindakan genosida terhadap warga Palestina dan berbuat lebih banyak untuk membantu warga sipil, namun tidak memerintahkan Israel untuk melakukan gencatan senjata seperti yang diminta oleh Afrika Selatan sebagai pihak penggugat.
Afrika Selatan membawa kasus melawan Israel ke pengadilan PBB bulan ini, menuduh Israel melakukan genosida yang dipimpin negara dalam serangannya terhadap Hamas.
Premis hukum Afrika Selatan dalam kasus ini adalah bahwa genosida adalah kejahatan yang sangat serius sehingga semua negara berkewajiban untuk mencegahnya.
Meskipun keputusan tersebut memupuskan harapan Palestina akan perintah gencatan senjata yang mengikat di Gaza, keputusan tersebut juga mencerminkan kemunduran hukum bagi Israel, yang berharap bahwa pengadilan PBB tersebut akan membatalkan kasus yang diajukan berdasarkan konvensi genosida yang ditetapkan setelah Holocaust.
Mahkamah Internasional mengatakan perang tersebut menyebabkan kerugian kemanusiaan yang menyedihkan. Mereka juga mengatakan pihaknya “sangat prihatin” terhadap nasib para sandera yang ditahan di Gaza dan menyerukan Hamas dan kelompok bersenjata lainnya untuk segera membebaskan mereka tanpa syarat. Para sandera ditangkap dalam serangan 7 Oktober terhadap Israel yang memicu konflik antara Israel dan Hamas.
Kementerian Luar Negeri Palestina mengatakan keputusan tersebut merupakan pengingat bahwa “tidak ada negara yang kebal hukum.” Pejabat senior Hamas Sami Abu Zuhri mengatakan kepada Reuters bahwa keputusan tersebut akan berkontribusi pada "pengisolasian pendudukan dan mengungkap kejahatan [Israel] di Gaza."
Sementara itu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyambut baik keputusan ICJ untuk tidak memerintahkan gencatan senjata tetapi menolak klaim genosida sebagai hal yang "keterlaluan" dan mengatakan bahwa Israel akan terus mempertahankan diri.
Israel diharuskan untuk menyerahkan laporan ke pengadilan tentang langkah-langkah yang telah diambil untuk mematuhi perintah tersebut dalam waktu satu bulan setelah keputusan tersebut. Pengadilan akan memeriksa secara rinci manfaat kasus ini, sebuah proses yang bisa memakan waktu bertahun-tahun.
Meskipun keputusan ICJ bersifat final dan tanpa banding, pengadilan tidak mempunyai cara untuk menegakkan keputusan tersebut.
Israel mengatakan pihaknya melakukan upaya terbaik untuk menghindari jatuhnya korban sipil.
Korban Tewan Telah Melampaui 26 Ribu Jiwa
Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan pada hari Jumat bahwa jumlah korban tewas di wilayah tersebut telah meningkat menjadi lebih dari 26.000 orang, dengan lebih dari 64.400 orang terluka, dalam lebih dari tiga bulan perang.
Kementerian tersebut mengatakan pada Jumat pagi bahwa dalam 24 jam terakhir, 183 warga Palestina tewas dalam serangan Israel dan 377 lainnya terluka.
Militer Israel mengatakan sedang menyelidiki serangan pada Kamis yang menewaskan sedikitnya 20 orang dan melukai 150 lainnya di sebuah bundaran di Kota Gaza. Serangan itu terjadi ketika warga Palestina menunggu bantuan kemanusiaan, kata pejabat kesehatan Hamas.
Juga di Gaza tengah, pejabat kesehatan Palestina mengatakan serangan udara Israel pada malam hari terhadap sebuah rumah di kamp pengungsi Al-Nusseirat telah menewaskan enam orang.
Pertempuran tersebut telah sangat mengganggu aliran bantuan kemanusiaan ke Gaza, dan badan amal internasional ActionAid mengatakan pada hari Kamis bahwa kelaparan di sana telah mencapai tingkat bencana, mendorong orang untuk menggiling pakan ternak untuk dijadikan tepung.
“Kelaparan sedang terjadi di seluruh wilayah ini,” kata ActionAid dalam sebuah pernyataan, “sementara kantong-kantong kelaparan diduga kuat terjadi di wilayah utara, di mana bantuan sangat sulit dijangkau.”
Pertempuran tersebut merupakan bagian dari upaya Israel untuk mengakhiri kendali Hamas atas Jalur Gaza sejak serangan teror 7 Oktober, ketika militan Hamas menyerbu Israel selatan, menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyandera sekitar 240 orang. [pp/ft]
Beberapa informasi untuk laporan ini berasal dari kantor berita AP, AFP, dan Reuters.