Bangsa-bangsa Asia Pasifik menghadapi meningkatnya tantangan dari kejahatan siber dan pembobolan sistem keamanan di tengah meningkatnya biaya ekonomi akibat serangan siber.
Perusahaan-perusahaan dan pemerintah di kawasan ini menyatakan reformasi kebijakan dibutuhkan dalam menanggulangi laju peningkatan kemajuan teknologi dan meningkatnya kerentanan terkait kejahatan siber.
Singapura menjadi yang terdepan di kawasan ASEAN untuk meningkatkan keamanan siber selain meningkatkan sumberdaya dari negeri pulau tersebut.
Pada bulan Oktober 2016, Singapura menjadi tuan rumah perhelatan perdana Konferensi Keamanan Siber Menteri-Menteri ASEAN, dengan mengumumkan berbagai inisiatif baru untuk mendorong kapasitas ASEAN dalam menanggulangi ancaman siber.
Honeywell, sebuah perusahaan yang berpusat di AS, didukung oleh Dewan Pembangunan Ekonomi Singapura (EDB), akan membangun pusat keunggulan industri keamanan siber yang baru untuk Asia Pasifik. Pusat keamanan siber ini juga akan memiliki laboratorium pengembangan dan pelatihan tingkat tinggi di bidang layanan keamanan.
Upaya multilateral
Pada bulan Juni, Singapura dan Australia menandatangani kesepakatan kerjasama untuk membendung kejahatan siber, dengan Australia yang juga menandatangani pakta untuk mendorong kerjasama dengan Thailand dan China.
Dutabesar Australia untuk Penanggulangan Kejahatan Siber, Tobias Feakin, berada di Bangkok untuk melakukan pembicaraan resmi dengan Pemerintah Thailand, mengatakan kerjasama regional bersifat penting di tengah meningkatnya tantangan jaringan penjahat siber di Asia.
“Para penjahat dan pihak-pihan yang tidak bertanggungjawab dapat beradaptasi dan menyerap semua [informasi ini] jauh lebih cepat dibandingkan pemerintah. Jadi, apabila kami tidak mendiskusikan hal ini, berbagi praktek-praktek terbaik dan selalu bergerak maju juga dalam waktu singkat kami akan tertinggal dalam jarak yang cukup jauh,” ujar Feakin kepada VOA.
Laporan yang dirilis oleh the United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) pada tahun 2016 memperingatkan kejahatan siber semakin meningkat di kawasan Asia Pasifik, dan berevolusi dari ancaman yang baru mulai menjadi usaha kejahatan.
UNODC menyatakan kejahatan siber – atau kejahatan terkait internet – termasuk pencurian identitas, kejahatan, penipuan yang difasilitasi melalui email dan situs-situs jaringan sosial, kejahatan seks dan penggelapan, dapat menjebak para korbannya lewat situs-situs media sosial dan telepon selular selain juga situs internet standar.
Analis teknologi siber UNODC yang berpusat di Bangkok, Alexandru Caciuloiu mengatakan kejahatan transnasional merupakan bagian terbesar dari kejahatan siber.
“Kami mengetahui semua jenisnya – kami memiliki informasi mengenai elemen kejahatan – yang menurut saya adalah bagian terbesar. Tentunya kami juga memiliki peretasan antar perusahaan – ada juga yang berasal dari negara – ada banyak pemain di bidang ini. Jadi dari segi elemen kejahatan tentaunya, mereka selalu mencoba untuk meningkatkan daya ungkit lewat teknologi baru,” ujar Caciuloiu.
Serangan siber
Serangan siber yang banyak dipublikasi telah meningkatkan kesadaran untuk kebutuhan peningkatan keamanan dan keselamatan. Malware WannaCry yang memeras korbannya di jagat online yang disebarluaskan oleh para peretas komputer di bulan Mei telah mempengaruhi 200.000 organisasi di 150 negara, termasuk Thailand.
Seorang eksekutif di perusahaan keamanan siber, Trend Micro, dilaporkan mengatakan serangan siber dengan motif pemerasan di jagad online telah “meningkat secara dramatis,” dimana elemen-elemen kejahatan telah menyebabkan kerugian yang mencapai jutaan dolar.
Di Filipina, analis keamanan mengatakan perusahaan harus meningkatkan tindakan perlindungan keamanan terhadap kejahatan siber dan meningkatnya ancaman global.
Akhir bulan Mei lalu, ada berbagai laporan yang menyatakan peretas yang terkait dengan Vietnam telah menyasar lembaga-lembaga pemerintah Filipina untuk mengumpulkan informasi intelijen terkait perselisihan maritim di kawasan Laut China Selatan.
Australia, dalam desakannya untuk mencapai kesepakatan dengan China, telah menuduh perusahaan-perusahaan yang berpusat di China terlibat dalam pencurian hak atas kekayaan intelektual di jagat online.
“China adalah mitra ekonomi utama [Australia],” ujar Dubes Feakin. “Ada beberapa bidang – ada beberapa perbedaan dan fakta bahwa kami mencapai titik penandatangan kesepakatan, yang menyatakan kedua belah pihak sepakat untuk tidak terlibat pencurian siber terhadap hak kekayaan intelektual, yang menurut saya adalah kesepakatan yang baik.”
Calciuloiu mewakili UNODC mengatakan tantangan untuk Asia Tenggara terletak pada ketimpangan ekonomi antara kekayaan dan kapasitas untuk membahas permasalahan keamanan siber.
“Ada beberapa negara dimana dapat saya katakan sangat fokus pada keamanan siber, sementar di negara lainnya memiliki tingkat kesadaran yang rendah di kalangan pemerintahnya,” ujarnya.
Konsultan internasional PriceWaterhouseCoopers (PwC), dalam survei yang bertajuk 2017 Global State of Information Security Survey, menyerukan sebuah “penyatuan front untuk melawan penjahat siber” termasuk bekerjasama dan berbagi informasi agar organisasi-organisasi terkait dapat memahami akan risiko-risikonya dengan mengutamakan metode efektif dalam merespon semua risiko ini.
Peningkatan penggunaan telepon selular dan tablet yang meningkat secara eksponensial telah meningkatkan risiko-risiko yang ada.
“Risiko siber sekarang jauh melebihi pandangan tradisional kita terhadap komputer,” termasuk meningkatnya serangan yang melibatkan peralatan rumah tangga yang terhubung internet yang dikenal sebagai Internet of Things dari mobil hingga alat-alat rumah tangga.
“Dalam dekade mendatang, baik motivasi dan peluang untuk terjadinya serangan kejahatan pada perusahaan dan pemerintah akan meningkat pesat,” ujar PwC.
Feakin lebih lanjut mengatakan adanya kebutuhan untuk memastikan pembangunan dan meningkatnya konektivitas tidak mandek akibat kurangnya kerjasama internasional di semua tingkatan.
“Di kawasan ini kita membutuhkan lebih dari sekedar hal itu. Yang senantiasa menjadi perhatian kita adalah apabila kita tidak memastikan bahwa ancaman yang ada masih dapat terkontrol, maka itu adalah bahaya yang luput dari kesempatan emas yang ada,” ujarnya.
Dalam sebuah komentarnya baru-baru ini, Brad Glosserman, seorang direktur eksekutif pada Forum Pasifik di Pusat Studi Keamanan, mengatakan perkiraan tahun 2015 yang ditimbulkan oleh kejahatan siber di kawasan Asia Pasifik mencapai $81 milyar, sementara jumlah insiden terus meningkat. [ww]