Australia telah menutup pusat penahanan kontroversialnya di Papua Nugini, namun lebih dari 600 pengungsi dan pencari suaka menolak pergi. Mereka mengkhawatirkan keamanan mereka di komunitas setempat dan merasa tidak pasti dengan masa depan mereka. Pihak berwenang Australia telah meninggalkan fasilitas itu, dan mematikan suplai air dan listrik. Reporter VOA Phil Mercer melaporkan dari Sydney, Australia.
Sekitar 600 orang bertahan di pusat penahanan di Pulau Manus, Papua Nugini. Sebagian besar dari mereka adalah pengungsi, termasuk dari Myanmar, Iran dan Afghanistan. Mereka bersikeras menyatakan sangat takut meninggalkan pusat pemrosesan migran itu dan menolak untuk pindah ke lokasi lain di pulau tersebut. Mereka mengatakan, mereka telah menimbun pangan dan air, dan tidak jelas kapan, atau apakah, mereka akan dipaksa ke luar oleh pihak berwenang Papua Nugini.
Senator Nick McKim, juru bicara urusan imigrasi partai politik Australian Greens mengatakan, para pengungsi dan pencari suaka itu mengkhawatirkan keselamatan mereka.
“Mereka tidak percaya mereka aman berada di sana, di tengah-tengah komunitas Manus. Dan kita sendiri tahu, ada sejumlah serangan golok dan pisau dalam beberapa bulan terakhir. Orang-orang itu mengkhawatirkan keselamatan jiwa mereka,” katanya.
Sejumlah aktivis HAM mengatakan, sekitar 480 dari 600 orang di fasilitas Pulau Manus itu adalah pengungsi. Yang lainnya adalah para pencari suaka, yang status pengungsi mereka telah ditolak. Nasib semua orang itu kini tidak jelas. Papua Nugini mengatakan, orang-orang tersebut adalah tanggung jawab Australia. Namun Canberra tidak akan menampung para tahanan di Pulau Manus itu di tanah Australia karena kebijakan suaka dan perlindungan perbatasannya yang ketat.
Kate Scheutze, periset di organisasi HAM Amnesty International, mengatakan, para tahanan di Pulau Manus ditelantarkan Australia. “Intinya, tidak ada rencana nyata bagi para tahanan itu untuk bisa membangun kembali kehidupan mereka. Jadi ini benar-benar memprihatinkan. Semua indikasi di pusat penahanan ini dan keamanan di pusat penahanan ini tampaknya menunjukkan bahwa pihak berwenang Australia memindahkan mereka dari satu penjara ke penjara lain tanpa alasan yang logis,” jelas Kate.
Sejak 2013, Australia telah memenjarakan semua pencari suaka, yang berusaha mencapai pantai-pantai negara itu dengan menggunakan kapal, di Pulau Manus dan Nauru, sebuah republik kecil di Pasifik. Canberra mengatakan, kebijakan itu mencegah penyelundupan manusia dan kematian di laut. Namun kondisi di dalam kamp-kamp penahanan itu digambarkan PBB dan kelompok-kelompok HAM sangat buruk.
AS telah setuju untuk menampung beberapa pengungsi dari Pulau Manus dan Nauru berdasarkan kesepakatan yang dicapai Australia dan pemerintahan Obama tahun lalu. September lalu, 22 orang, termasuk mereka yang berasal dari Sudan, Bangladesh dan Muslim Rohingya dari Myanmar, menjadi yang pertama dipindahkan dari pusat penahanan di Papua Nugini ke AS. Tidak jelas, berapa banyak pengungsi yang akan ditampung Washington. Sebagai imbalannya, Australia akan menampung para pengungsi Amerika Tengah dari AS.
Tahun lalu, sebuah pengadilan di Papua Nugini memutuskan bahwa kamp di Pulau Manus yang didanai Australia tidak konstitusional. [ab/lt]