Tautan-tautan Akses

Bagi Warga Hazara di Afghanistan, Pergi ke Masjid Jadi Perkara Hidup dan Mati


Orang-orang memeriksa bagian dalam masjid setelah pemboman di Provinsi Kunduz, Afghanistan utara, pada 8 Oktober 2021. (Foto: AP)
Orang-orang memeriksa bagian dalam masjid setelah pemboman di Provinsi Kunduz, Afghanistan utara, pada 8 Oktober 2021. (Foto: AP)

Serangan bom bunuh diri saat ibadah salat Jumat di masjid-masjid yang dihadiri umat Syiah Hazara di Afghanistan, yang menewaskan ratusan orang pada bulan lalu, meneror warga Syiah di Afghanistan. Beberapa bahkan tidak berani keluar rumah untuk beraktivitas sehari-hari.

Asif Lali tak lagi pergi beribadah salat Jumat ke masjid.

Belum lama ini, gelombang serangan terhadap komunitasnya, yang sebagian besar beretnik Syiah Hazara, telah menewaskan adik laki-lakinya. Kini, ia ketakutan setiap pergi keluar rumah.

“Kami ketakutan dalam situasi apa pun. Saya bahkan tidak berani ke jalan raya, saya hanya berjalan lewat gang-gang saja, karena saya takut ada serangan bunuh diri. Setiap kali saya terjebak macet atau ada di tengah keramaian, saya takut ada serangan bunuh diri, karena komunitas kami diancam langsung oleh ISIS," kata Lali yang merupakan seorang dokter di sebuah klinik setempat.

Jumat pada 8 dan 15 Oktober, serangan bom bunuh diri meledak di beberapa masjid, menewaskan lebih dari 100 orang. ISIS mengaku bertanggung jawab atas kedua serangan yang menyasar umat Syiah, kelompok minoritas di sana.

Setelah kejadian tersebut, beberapa warga Hazara seperti Lali memutuskan untuk tidak beribadah ke masjid untuk sementara waktu.

Kondisi masjid setelah ledakan, di Kunduz, Afghanistan, 8 Oktober 2021. (Foto: Reuters)
Kondisi masjid setelah ledakan, di Kunduz, Afghanistan, 8 Oktober 2021. (Foto: Reuters)

“Adik laki-laki saya tewas dalam serangan bunuh diri yang dilakukan ISIS di bandara. Umurnya 23 tahun. Hampir 43 hari telah berlalu sejak serangan itu terjadi, akan tetapi hati kami masih terluka dan masih ada rasa duka di rumah kami. Kami bahkan tidak bisa memajang foto adik kami di dinding. Kami pun menghapus foto-fotonya dari handphone kami, karena kenangan tentangnya sangat menyakitkan bagi kami," ujar Lali.

Saking banyaknya korban tewas akibat serangan bom bunuh diri, warga Hazara memiliki pemakaman khusus di Kabul, dengan sebutan “Kebun Para Martir,” yang menjadi tempat peristirahatan terakhir korban-korban tewas dalam serangan bom sekolah Mei lalu.

Warga etnik Hazara di Afghanistan telah lama didiskriminasi dengan berbagai alasan, salah satunya agama yang mereka anut. Meski ribuan telah tewas saat Taliban memerintah pada 1996-2001, keberadaan ISIS di Afghanistan pada awal tahun 2015-lah yang menjadikan mereka dan komunitas Syiah secara umum sebagai target sistematis.

Ratusan orang tewas dalam banyak serangan bunuh diri di masjid maupun pusat keramaian oleh militan Sunni garis keras yang tidak menganggap mereka sebagai Muslim sejati, menimbulkan kekerasan sektarian yang menghancurkan negara-negara seperti Irak dan Afghanistan.

Meski Taliban telah berjanji semua kelompok etnik di Afghanistan akan dilindungi, aksi-aski pembunuhan terus terjadi semenjak mereka merebut kekuasaan Agustus lalu. Dengan lebih dari 400 masjid Syiah di Kabul saja, rasa aman sulit terwujud karena tidak ada yang tahu di mana serangan berikutnya akan terjadi.

Hussain Rahimi (23), warga etnik Hazara, mengatakan setiap kali ia berangkat ke masjid untuk beribadah, ia selalu membaca kalimat syahadat, karena tak tahu apakah ia akan selamat pulang ke rumah.

Rahimi sendiri kehilangan adik perempuannya yang duduk di kelas 12 dalam serangan bom di sebuah sekolah di Kabul Mei lalu, yang kebanyakan menewaskan murid perempuan.

“Ini rasa takut yang muncul dengan sendirinya, karena keluarga dan saya sendiri ketakutan. Ketika saya akan pergi ke masjid, saya membaca syadahat, karena saya khawatir tidak bisa kembali ke rumah dengan selamat," ujarnya.

Personel keamanan Afghanistan memeriksa lokasi ledakan bom di Kabul, Afghanistan, Kamis, 3 Juni 2021. (Foto: AP)
Personel keamanan Afghanistan memeriksa lokasi ledakan bom di Kabul, Afghanistan, Kamis, 3 Juni 2021. (Foto: AP)

Warga Hazara, yang berbahasa Persia dan diperkirakan merupakan keturunan tentara penakluk Mongol abad ke-13, Genghis Khan, dianggap sebagai kelompok etnik terbesar ketiga di Afghanistan, setelah Pashtun dan Tajik. Tidak ada data sensus terbaru, tetapi secara keseluruhan, warga Syiah diperkirakan mewakili 10-20 persen populasi.

Selain itu, warga Hazara juga kerap menjadi korban persaingan etnis dan ekonomi yang merajalela dalam politik Afghanistan.

Di bawah pemerintahan sebelumnya, warga Syiah ditawari sejumlah persenjataan dan pelatihan dasar agar dapat melindungi masjid-masjid mereka. Akan tetapi, Taliban telah mencabut sebagian pesar penawaran tersebut, sehingga membuat mereka merasa lebih rentan.

“Masyarakat kami merasa suatu saat, hari Jumat nanti misalnya, dua atau tiga hari setelahnya, mungkin Herat yang akan meledak, mungkin Kabul akan meledak, mungkin kota lainnya, misalnya Helmand atau tempat dan masjid-masjid lain di mana umat Syiah berkumpul untuk berJumatan," kata Mohammad Baqer Sayed, dosen Afghan University.

Pihak berwenang Taliban berjanji akan meningkatkan pengamanan di masjid-masjid Syiah dua pekan lalu, akan tetapi jaminan itu tidak cukup bagi banyak orang, yang memiliki sedikit kepercayaan pada kelompok yang sejak lama dianggap sebagai musuh mereka. [rd/jm]

XS
SM
MD
LG