Sebuah bank pembangunan internasional baru senilai $100 miliar yang didukung negara-negara berkembang diluncurkan di Shanghai, China, Selasa (21/7), yang disebut oleh media resmi Cina sebagai tantangan terhadap kreditor internasional yang didukung Barat.
Bank Pembangunan Baru (NDB) ini diresmikan setelah negosiasi selama tiga tahun antara negara-negara anggota BRICS: Brazil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan. Peluncuran NDB dilakukan tidak lama setelah pembentukan sebuah bank multilateral lainnya, yaitu Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB), yang juga diprakarsai oleh pemerintah China.
"Jelas bahwa pembentukan lembaga-lembaga baru ini akan mematahkan monopoli Bank Dunia. Sekarang, akan ada lebih banyak pilihan bagi negara-negara peminjam, yang bisa memilih tawaran terbaik di antara lembaga-lembaga tersebut," kata Bala Ramasamy, profesor ekonomi pada sekolah bisnis di Shanghai, China Europe International Business School.
China diperkirakan akan mendominasi kedua bank internasional baru tersebut. Beijing memiliki saham terbesar, yaitu 31 persen di AIIB. Sementara dalam NDB, China memberikan kontribusi sama dengan empat negara lainnya sebagai modal awal sebesar $50 miliar, yang kemudian akan ditingkatkan menjadi dua kali lipat. Namun, China juga memiliki 41 persen saham untuk dana cadangan sebesar $100 miliar, yang diumumkan oleh NDB, Selasa.
Dominasi China dalam Lembaga Perbankan Internasional
"Tampaknya China akan memainkan peran yang semakin besar melalui lembaga-lembaga baru tersebut," tambah Ramaswamy. "Negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris akan dipaksa meningkatkan peran mereka, dan meninjau kembali hubungan mereka dengan negara-negara berkembang."
Namun, sejumlah analis mengatakan bahwa bank-bank baru tersebut relatif kecil dibandingkan dengan Bank Dunia, dan akan sulit untuk bisa menandingi Bank Dunia. Para pengritik juga mempertanyakan apakah proyek-proyek pembangunan yang dibiayai lembaga perbankan baru tersebut akan memiliki ketentuan perlindungan terhadap hak asasi manusia dan pelestarian lingkungan.
NDB juga dinilai tidak akan mampu bersaing dengan Bank Dunia dalam menawarkan suku bunga yang rendah karena biaya pinjaman yang lebih tinggi. Obligasi yang ditawarkan NDB juga akan dinilai berdasarkan peringkat kredit negara-negara anggota.
"NDB dan AIIB mungkin ingin mematahkan monopoli Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF). Itulah ambisi mereka. Tapi apakah mereka memiliki kepercayaan diri untuk melakukannya? Saya harus mengatakan 'tidak'," kata Liu Xiaoxue, seorang peneliti pada Lembaga Kajian Strategi Internasional yang berkantor di Beijing.
Sementara, M.V. Kamath, presiden pertama NDB, seorang bankir India, membahas hubungan NDB dengan Bank Dunia, Dana Moneter Internasional dan kreditor internasional lainnya pada upacara peresmian hari Selasa.
"Tujuan kami (membentuk NDB) bukan untuk menantang sistem yang sudah ada, tapi untuk meningkatkan dan melengkapi sistem tersebut dengan cara kami sendiri," katanya.
Kamath juga mengindikasikan NDB akan mengkoordinasikan berbagai kebijakannya dengan AIIB dengan membentuk saluran komunikasi khusus di antara kedua lembaga tersebut.
Menteri Keuangan China Lou Jiwei juga menegaskan bahwa NDB dan AIIB akan bekerja sama.
"NDB akan melengkapi Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB), dan kami akan berbagi pengalaman operasional serta memperkuat kerjasama dalam menjalankan proyek-proyek pembangunan."
Lou menambahkan bahwa, "NDB akan memberikan kekuatan pendorong baru untuk mempercepat pemulihan ekonomi global dengan mendukung proyek-proyek infrastruktur dan memperluas permintaan global."
Para pengritik mengatakan Bank Dunia mengambil pendekatan yang terlalu kaku dalam mengevaluasi proyek, dan sering menolak proposal yang dianggap tidak ramah lingkungan. Bank-bank baru tersebut diharapkan untuk mengambil pendekatan yang berbeda dari Bank Dunia.
"Saya perkirakan NDB tetap akan melakukan penilaian dampak lingkungan yang tepat. Namun, mereka akan mencoba dan mengurangi dampak negatif proyek tersebut terhadap lingkungan dan bukan serta-merta menolak proposal dari negara-negara berkembang tersebut," kata Ramaswamy.