Sesuai namanya, ecoprint berasal dari kata eco atau ekosistem yang berarti lingkungan hayati atau alam dan print artinya cetak. Sistem dengan menjiplak dedaunan dan kemudian merebusnya, mirip seperti proses pembuatan batik, maka sering juga disebut batik ecoprint. Namun, motif yang dihasilkan oleh wsistem ecoprint ini lebih kontemporer dibandingkan batik yang digambar ataupun dicetak dengan motif batik yang klasik.
Perbedaan lainnya, ecoprint tidak menggunakan alat seperti canting (alat seperti pena untuk membatik) dan bahan malam, namun menggunakan bahan yang terdapat di alam sekitar, seperti aneka dedaunan yang menghasilkan warna alami.
Linna Emanuel Paendong, 42 tahun, mulai mencoba sistem ecoprint ini pada tahun 2016. Kepada VOA ia mengatakan:
“Saya ingin membuat terobosan baru. Kalau batik kan sudah diakui sebagai warisan budaya. Maka kita ingin menggunakan bahan-bahan alam yang bisa diperbarui. Seperti di India dan beberapa negara sudah ada. Mungkin jenis daunnya saja yang berbeda, tetapi kalau di Indonesia kita memanfaatkan daun jati, yang sudah tidak diragukan lagi kalau daun jati itu menghasilkan pewarnaan alam yang baik.”
Bea Chic
Kemudian Linna terus belajar dan mencoba dengan dedaunan lain seperti daun kayu putih, daun pohon lanang dan teger. Sebelum menekuni sistem ekoprint, Linna yang menyukai dunia busana, telah membuka usaha merancang busana berlabel “Bea Chic”. Ditanya mengenai label busananya itu, Linna mengatakan, “Bea Chic” maksudnya, “be a chic” atau “bergaya cantik”. Juga diambil dari nama putrinya, Beatrice, maka jadilah “Bea Chic” yang dibentuk tahun 2014.
Linna telah sering memeragakan busana rancangannya dengan bahan yang kebanyakan dari kain yang ia cetak dengan sistem ecoprint. Linna mengaku senang belajar berbagai sistem pembuatan kain.
“Kalau kainnya katun dan dengan metode dasar yaitu daun jati, mulai Rp250 ribu sampai berjuta-juta rupiah, karena kalau bahan sutra dan ada warna dasarnya pasti mahal, karena harga juga tergantung bahan kainnya”.
Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas) sebagai badan yang membimbing dan menggolongkan para perajin mengatakan, usaha ecoprint dan rancangan busana Linna sudah digolongan tingkat menengah ke atas, seperti dijelaskan Pengurus bidang fashion Dekranas Yogyakarta, Yovita Setianingsih: “Secara teknik dia sudah maju. Waktu itu Linna berbagi ilmu dan pada waktu itu ia tidak pakai teori, langsung praktek. Ini lho daun-daunnya yang bisa dipakai”.
Para pecinta lingkungan dan seni menghargai karya Linna yang mempunyai pelanggan dari dalam maupun luar negeri.
“Banyak pelanggan asing, beberapa membeli yang sudah dalam bentuk tas ataupun hanya kain, karena mereka tidak akan memotong kain itu.
Mereka merasa sayang karena dari bahan alami dan buatan tangan jadi mereka pakai untuk syal atau koleksi. Banyak yang dari Eropa dan Jepang”.
Daun Jati
Linna mengambil daun-daun jati dari penduduk di Daerah Istimewa Yogyakarta, terutama di Kabupaten Bantul. Banyak penduduk menanam pohon jati yang menghasilkan daun berlimaph. Selain Linna, banyak perajin lain dari Banyumas, Padang Panjang (Sumatra Barat) dan Madura juga menggunakan daun jati untuk bahan membuat kain dengan sistem ecoprint. Tetapi bagaimana dengan daun-daun dari pohon lain yang tidak sebanyak pohon jati?
“Intinya, untuk ecoprint itu kita pakai daun yang jatuh, kalau bisa petik seperlunya, dan kalau bisa menanam lagi, jadi tidak merusak lingkungan," kata seorang pegiat lingkungan dan ekoprint, Elis Kumara Djati
Teknik ecoprint di Amerika tidak begitu populer. Tapi yang pasti para perajin di Indonesia telah memproduksi tekstil yang ramah lingkungan, tidak menimbulkan pencemaran air, tanah atau udara, dengan memanfaatkan lingkungan sambil melestarikan alam. [ps/em]