Keputusan Partai Nasional Demokrat (Nasdem) untuk mencalonkan mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, tampaknya kini membuahkan hasil. Setidaknya hal tersebut tercermin dari popularitas yang berhasil diraih oleh partai tersebut pada tahun lalu di mana lembaga analisis big data Netray mengungkapkan bahwa baik Anies maupun Nasdem meraih pamor yang cukup tinggi pada 2022.
“Itu menjadi topik yang paling populer, baik di Twitter maupun media pemberitaan, yang membuat Anies Baswedan dan Nasdem menjadi tokoh politik dan partai politik yang paling disebut sepanjang 2022,” kata analis data Netray Irwan Syambudi dalam publikasi hasil riset Netray pada Selasa (21/3).
Sepanjang 2022, Netray telah mengumpulkan 5,2 juta data pemberitaan media dan 35,2 juta data cuitan di twitter. Dari jumlah itu, Netray melakukan penyaringan dengan kata kunci pilpres, capres dan cawapres 2024. Tujuannya adalah melihat lebih detail bagaimana perbincangan Pilpres 2024, baik di media massa daring maupun obrolan warganet. Penyaringan menghasilkan ada lebih 83 ribu berita di media dan sekitar 700 ribu cuitan di twitter yang berkaitan dengan tiga kata kunci tersebut.
Meski berlangsung sepanjang 2022, sebenarnya pemberitaan dan perbincangan terkait tiga kata kunci itu baru meningkat sekitar 3 bulan terakhir di 2022.
Banyak Isu di 2022
Menurut Netray, big data mencatat perbincangan mengenai pilpres, capres dan cawapres 2024 sebenarnya sudah menggeliat di awal tahun lalu. Namun, pada bulan-bulan awal, isu penundaan pemilu menjadi lebih dominan setelah beberapa pihak sempat menggaungkan hal tersebut.
“Yang pertama didengungkan oleh Menteri Investasi, yang menyebut bahwa banyak pengusaha mendukung adanya penundaan pemilu,” papar Irwan.
Isu kemudian meredup, seiring reaksi negatif masyarakat terkait wacana tersebut. Kemudian di sepanjang April hingga Juli, Netray mencatat perbincangan mulai menggeliat lagi karena partai-partai politik menggelar pertemuan nasional untuk persiapan Pemilu 2024. Sejumlah nama mulai hangat dibicarakan, meski baru sekadar digadang-gadang. Mengingat belum adanya kepastian, antusiasme warganet dalam mencuit soal pemilu kembali meredup hingga sekitar September 2022.
“Baru kemudian di awal-awal Oktober, momen besar terjadi ketika Partai Nasdem secara mengejutkan mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai Capres 2024,” lanjut Irwan.
Data perbincangan di lini media daring bahkan sangat kuat, dengan lebih 25 ribu cuitan dan 1.200 pemberitaan muncul terkait deklarasi calon presiden itu.
Perbincangan semakin meningkat, karena deklarasi tersebut direspon oleh banyak pihak, baik politisi maupun partai politik.
Di lini masa twitter sepanjang 2022, tokoh yang paling populer di big data adalah Anies Baswedan, Jokowi, Ganjar Pranowo, Prabowo dan Airlangga Hartarto. Sedangkan di pemberitaan media yang dicatat big data, urutannya adalah Anies Baswedan, Erick Thohir, Prabowo Subianto, Jokowi dan Puan Maharani.
Popularitas dan Elektabilitas
Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr Mada Sukmajati mengingatkan bahwa popularitas tidak serta merta sejalan dengan elektabilitas.
“Popularitas itu tidak selamanya in line atau sama dengan elektabilitas. Jadi ini perlu kita membaca dengan hati-hati ya, karena boleh jadi populer, tapi belum tentu elektabilitasnya sesuai dengan popularitasnya itu,” kata Mada mengomentari hasil temuan Netray.
Namun, mengutip lembaga lain yang juga melakukan analisa terhadap big data, Mada mengakui bahwa Anies Baswedan selalu muncul dalam tiga nama paling dibicarakan. Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto adalah dua nama lain yang seringkali hadir dalam sejumlah survei bakal calon presiden 2024.
Mada menguatkan pendapatnya terkait elektabilitas ini, dengan mengutip hasil survei sejumlah lembaga yang menempatkan Ganjar Pranowo dengan elektabilitas tertinggi. Dalam kasus ini, baik Ganjar maupun Prabowo memang tidak sepopuler Anies Baswedan dalam perbincangan di kalangan warganet. Namun, elektabilitas Ganjar dinilai masih lebih tinggi dibandingkan dengan figur lainnya.
Di kelompok partai, banyak survei juga menempatkan PDI-P sebagai partai yang kemungkinan akan memperoleh dukungan terbesar di 2024. Posisi itu relatif stabil setidaknya dalam dua pemilu terakhir. Namun, Mada mengakui, bahwa lembaga survei juga mencatat pengaruh Anies bagi Nasdem cukup kuat.
“Ada hasil survei teman-teman di Algoritma, yang menunjukkan bahwa deklarasi yang dilakukan Partai Nasdem, telah memberikan dampak positif juga terhadap elektabilitas Partai Nasdem,” ujarnya.
“Jadi, pemberian tiket pencalonan ke Anies Baswedan dari hasil survei itu, bisa atau mampu, untuk meningkatkan elektabilitas atau perolehan suara dari Partai Nasdem. Ini, saya kira menjadi temuan menarik ya,” tambah Mada.
Meski memiliki tingkat dukungan paling tinggi, kata Mada PDI-P juga dihadapkan pada tingkat resistensi besar, kaitannya dengan wacana menjadikan Puan Maharani sebagai capres di 2024.
Keterbatasan Big Data
Sebagai sebuah sumber data, big data memang bisa menjadi bahan analisa, tetapi keterbatasannya juga perlu dipahami. Berbicara dalam kesempatan yang sama, dosen Fisipol UGM, Dr Media Wahyudi Askar mengingatkan soal keterbatasan ini. Media Wahyudi adalah juga project advisor di UniTrend, sebuah situs informasi politik berbasis data.
“Ketika kita menggunakan big data, media sosial, tentu ada limitasi. Misalnya, kita tidak bisa meng-capture mbah-mbah yang ada di kampung, karena mereka tidak akses media sosial, atau hanya sekedar menikmati obrolan di warung kopi saja,” kata Media.
Penggunaan big data dalam politik mulai populer setelah pemilu di Amerika Serikat menempatkan data ini sebagai instrumen penting. Big data dipandang sebagai alat untuk memahami popularitas.
“Tapi, ada pertanyaan juga, sejauh mana elektabilitas bisa di-capture dengan big data, dan ini juga tidak mudah,” tambah Media.
Karena hanya mampu memotret pada sisi yang terbatas inilah, analis berperan penting untuk membaca big data. Indonesia, kata Media, masih membutuhkan lebih banyak analis yang kompeten untuk pembacaan big data.
Yang juga perlu diperhatikan menjelang 2024, adalah bagaimana pertarungan akan terjadi justru di format paling akrab bagi masyarakat, yaitu di grup percakapan. Mereka yang tidak menggunakan media sosial seperti twitter, seperti masyarakat pedesaan, cenderung berada di grup-grup aplikasi percakapan seperti itu. Apa yang menjadi perbincangan di aplikasi tersebut juga perlu memperoleh perhatian.
Dalam kasus di Indonesia, juga ada istilah golden moment dalam penyelenggaraan pencoblosan. Faktor ini sangat sulit diprediksi, tetapi harus tetap diperhatikan.
“Beberapa jam sebelum nyoblos, kalau di kampung-kampung itu jam 5 pagi, tiba-tiba ada pot bunga dateng, ada bawang putih, bawang merah, satu kantong satu rumah. Itu enggak bisa di-capture dalam waktu cepat. Golden moment ini perlu diidentifikasi juga, bagaimana big data bisa meng-capture,”ujar Media. [ns/rs]
Forum