Sekretaris Utama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Lilik Kurniawan mengatakan bencana hidrometeorologi adalah yang paling banyak terjadi sepanjang 2021. Rinciannya adalah 1.298 bencana banjir, 804 bencana cuaca ekstrem, dan 632 bencana tanah longsor. Bencana kebakaran hutan dan lahan berada pada urutan berikutnya dengan 265 kejadian, disusul gelombang pasang dan abrasi dengan 45 kejadian, gempa bumi dengan 32 kejadian, kekeringan dengan 15 kejadian dan erupsi gunung api dengan satu kejadian.
Menurut Lilik, jumlah bencana tahun ini, yakni 3.092, lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2020 yang mencapai 4.649.
"Yang paling banyak terjadi di Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan yang setiap tahun di Provinsi Aceh," jelas Lilik dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (31/12/2021).
Kendati jumlah bencana lebih sedikit, data BNPB menunjukkan dampak yang ditimbulkan bencana alam pada tahun ini jauh lebih besar. Korban jiwa tahun ini, contohnya, mencapai 665 jiwa, sedangkan tahun lalu 376 jiwa. Korban luka-luka meningkat dari 619 orang tahun lalu menjadi 14.116 orang tahun ini. Jumlah pengungsi pun bertambah dari 6,7 juta orang menjadi 8,4 juta orang.
"Korban meninggal paling tinggi terjadi di Januari dan April. Januari kita mengalami gempa di Mamuju, Sulawesi Barat. Bulan April terjadi Siklon Tropis Seroja di Nusa Tenggara Timur yang mengakibatkan korban paling besar," tambahnya.
Lilik menjelaskan BNPB telah melakukan berbagai upaya untuk mengurangi dampak bencana, antara lain dengan melakukan penguatan kelembagaan penanggulangan bencana di daerah, penyempurnaan data dan informasi risiko bencana, serta penguatan budaya sadar bencana.
Lilik juga menyoroti bencana pada 2021 tidak tidak terlepas dari faktor alih fungsi peruntukan lahan. Karena itu, ia meminta masyarakat melakukan kontrol sosial di lapangan dan pemulihan daya dukung lingkungan harus dilakukan optimal.
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Geoteknologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Adrin Tohari mengatakan dampak bencana yang ditimbulkan tergantung dengan jenis bencana. Karena itu, jumlah korban dan dampak lainnya harus dilihat secara kasuistik.
Namun, menurutnya edukasi tentang bencana ke semua warga masih belum merata. Akibatnya, tidak semua warga memiliki kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Karena itu, ia menyarankan edukasi tentang bencana ini dapat dilakukan ke semua lapisan masyarakat di semua wilayah.
"Semuanya saling terkait antara kewaspadaan masyarakat, teknologi yang digunakan, dengan lokasi terjadinya bencana. Apakah terjadi di pemukiman padat atau tidak," jelas Adrin kepada VOA, Jumat (31/12/2021) malam.
Adrin menjelaskan teknologi terkait bencana yang digunakan di Indonesia tidak kalah dengan negara-negara maju seperti Jepang. Hanya, kata dia, jumlah yang digunakan masih sedikit dan tidak merata. Salah satu masalahnya, yaitu anggaran untuk teknologi ini yang masih minim.
"Kalau di Jepang dalam pulau seluas Jawa, itu pemasangan seismometer hampir menutupi pulau itu dan menyebar untuk mengamati kejadian gempa. Dan sistem peringatan tsunami juga sudah tersebar di perairan mereka," tambahnya. [sm/ab]