Ketua Departemen Perempuan Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Dian Septi, mengatakan rencana revisi Undang-undang Ketenagakerjaan tidak pro terhadap buruh. Itu terlihat dari adanya wacana pengurangan pesangon bagi buruh, yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Menurutnya, hal tersebut tidak manusiawi dan akan memiskinkan buruh yang di-PHK bersama keluarganya.
"Kami menolak revisi UU Ketenagakerjaan, karena tidak pro terhadap buruh. Beberapa di antaranya terkait dengan pesangon yang maksimal tujuh bulan. Artinya berapa lama pun kita bekerja, masa kerja kita hanya diakui maksimal adalah tujuh bulan upah. Dan itu tidak manusiawi dan bertentangan dengan apa yang digembar-gemborkan pemerintah tentang pembangunan manusia Indonesia seutuhnya," jelas Dian Septi di kantor LBH Jakarta, Rabu (10/7).
Dian Septi menambahkan, organisasinya juga menyoroti rencana penambahan masa kerja buruh kontrak, yang sebelumnya maksimal tiga tahun menjadi lima tahun. Menurutnya, hal ini membuat kepastian buruh untuk menjadi pekerja tetap semakin tidak menentu. Akibatnya, kata dia, posisi buruh akan semakin lemah dan keberanian buruh untuk berserikat semakin kecil.
Pengacara Publik LBH Jakarta, Aprillia L Tengker menambahkan, alasan pengusaha dan pemerintah yang ingin merevisi UU Ketenagakerjaan karena terlalu kaku penerapannya, bertolak belakang dengan kondisi buruh. Menurutnya, sejumlah aturan yang ada di UU Ketenagakerjaan, justru dalam praktiknya masih jauh dari undang-undang. Ia mencontohkan aturan tentang pengangkatan buruh kontrak yang sudah bekerja tiga tahun menjadi pekerja tetap, belum banyak dilakukan pengusaha.
"Undang-undang Ketenagakerjaan bisa dibilang sebagai undang-undang yang justru pelaksanaannya bikin buruh semakin sulit. Dengan revisi ini pun akan semakin mempersulit, kecuali jika revisi untuk memperbaiki. Tapi ini yang digaungkan adalah revisi versi pengusaha," kata Aprillia.
Aprillia juga menilai opsi penolakan terhadap wacana revisi UU Ketenagakerjaan ini merupakan opsi yang paling tepat saat ini. Sebab, buruh yang tidak memiliki jaminan revisi UU Ketenagakerjaan, nantinya akan berpihak kepada buruh dibandingkan pengusaha.
Ditambah lagi, menurut Gebrak, pengusaha kerap melanggar hak-hak buruh yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Sebagai contoh, berdasarkan Data Survei Angkatan Kerja Nasional pada 2008 menunjukkan 66 persen buruh tidak mendapat pesangon sama sekali, dan 27 persen buruh menerima pesangon lebih kecil dari aturan.
APINDO Sayangkan Penolakan Buruh
Ketua Hubungan Antar Lembaga Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Anthony Hilman menyayangkan penolakan yang dilakukan buruh terhadap rencana revisi UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Menurutnya, poin-poin yang menjadi keberatan buruh masih bisa didiskusikan dengan pengusaha. Ia meyakinkan revisi UU Ketenagakerjaan nantinya akan menguntungkan kedua pihak yakni pengusaha dan buruh.
"Apindo banyak menerima masukan dari dunia usaha berkaitan dengan hal-hal yang menjadi masalah dan menghambat kelangsungan usaha. Dalam hal ini dibutuhkan dialog yang lebih dalam. Ini kan baru dalam bentuk usulan awal, dimana ini hal-hal yang dianggap masalah dan perlu dicari solusi yang win-win," jelas Anthony saat dihubungi VOA.
Anthony Hilman menambahkan UU Ketenagakerjaan perlu direvisi karena sudah tidak relevan dengan kondisi perkembangan era digital yang membutuhkan fleksibilitas kerja. Ia juga menuturkan UU ini sudah lebih dari 7 kali digugat di Mahkamah Konstitusi dan beberapa pasalnya dianluir. Karena itu, kata dia, sudah saatnya buruh dan pengusaha untuk berunding kembali merumuskan UU Ketenagakerjaan.
Di samping itu, menurut Anthony, pengusaha juga ingin merevisi aturan pesangon yang kurang adil. Semisal buruh yang di-PHK dengan alasan tidak baik tetap mendapat pesangon yang besar, sementara buruh yang mengundurkan diri hanya mendapat uang pisah yang besarannya lebih kecil dari pesangon.
Atas dasar tersebut, Apindo berharap revisi UU Ketenagakerjaan usulan pengusaha ini dapat segera dibahas oleh DPR dan pemerintah. Sehingga revisi UU Ketenagakerjaan yang baru nantinya dapat segera disahkan pada tahun depan. [sm/jm]