Isu keimigrasian selalu menjadi isu panas di Amerika Serikat, tak terkecuali dalam masa kampanye pemilihan presiden (pilpres) 2020.
Petahana Presiden Donald Trump dari Partai Republik dan mantan wakil presiden AS Joe Biden dari Partai Demokrat, punya pandangan yang saling bertolak belakang untuk isu imigrasi.
Biden, dalam debat terakhir di Nashville, Tennessee, mengatakan akan melakukan reformasi kebijakan keimigrasian Trump. Jika terpilih, Biden akan memudahkan warga imigran untuk menjadi warga negara AS meski tanpa dokumen resmi.
Sebaliknya, Trump menerapkan kebijakan imigrasi yang sangat ketat, misalnya merealisasikan pembangunan tembok sepanjang perbatasan AS dan Meksiko, seperti kampanyenya pada pilpres 2016. Selain itu, ia juga memperketat pemberian visa kerja bagi imigran.
Bagi Merysta Smith, diaspora yang menjadi warga negara AS pada 2018, isu keimigrasian lah yang membuat ia melek politik Amerika.
“Untuk fiancé (tunangan -red), visa harus tunggu 2 tahun. Setelah itu baru bisa apply (daftar.red) untuk yang sepuluh tahun. Menurut saya itu tidak fair (adil -red), untuk orang yang prosesnya legal,” kata Merysta.
Demikian pula bagi Katherine Antarikso. Isu keimigrasian juga jadi salah satu alasan yang membuatnya aktif dalam kegiatan berorganisasi.
“Saya masih percaya dengan ide tentang Amerika, bahwa semua orang bisa datang, bekerja keras dan berhasil. Tapi ini bukan jerih payah saya sendiri, saya dapat bantuan dari keluarga, dosen. Dan saya pikir itulah Amerika yang ingin saya bantu bentuk,” paparnya.
Meski kerap muncul dalam debat politik dan kampanye, isu imigrasi ternyata bukanlah isu utama dalam pemilu kali ini. Jajak pendapat Pew Research menunjukkan ekonomi masih jadi perhatian 79 persen pemilih di Amerika, sementara isu imigrasi ternyata hanya 52 persen.
Menurut Mike Allison dari University of Scranton, meski tidak menjadi isu yang dominan, tetapi hal keimigrasian tetap akan mempengaruhi warga dalam memilih capresnya.
“Jika presiden dan media berita bicara soal imigrasi hari ini, misalnya hubungan imigrasi dengan ekonomi, kriminalitas, isu keadilan, masyarakat akan menimbang hal itu dalam memilih siapa wakil rakyat yang akan bisa merepresentasikan kepentingan terkait imigrasi dan mereka yang ilegal,” ujarnya.
Berbagai kebijakan imigrasi dari pemerintahan AS saat ini membuat sebagian imigran diaspora Indonesia, pendukung Partai Republik dan Trump terkadang enggan untuk mengungkap keberpihakan mereka secara terbuka.
“Karena mereka takut diserang, takut dianggap lupa kacang akan kulitnya karena kan mereka imigran ya. Dan teman-teman saya yang Republican (pendukung Partai Republik -red) juga merasa seperti itu. Padahal mereka punya alasan sendiri ya,” ujar Indah Nuritasari, CEO Indonesian Lantern.
Tak semua pendukung Trump setuju dengan kebijakan imigrasinya. Terutama kebijakan Trump terkait imigrasi legal lewat jalur keluarga, yang menjadi perhatian banyak diaspora Indonesia. Pemerintah Trump ingin mengakhiri apa yang dia sebut sebagai "migrasi berantai.”
Helen Rey-Heller, seorang diaspora Indonesia pendukung Partai Republik, mengatakan kebijakan penghapusan lotere visa dan sponsor untuk membawa orang tua pindah ke AS harus perlu dikaji ulang.
“Lebih baik lagi gitu. Karena kan, like me… mami dan papi di sini karena I sponsored them (saya mensponsori mereka -red) Jadi makanya mereka bisa ke sini,” katanya. [vg/ah/ft]