Kabut tebal dan cuaca buruk menghambat petugas penyelamat hari Rabu (19/8) untuk mengevakuasi jenazah-jenazah kecelakaan pesawat Trigana di Papua yang menewaskan ke-54 orang di dalamnya.
Pesawat itu menabrak gunung hari Minggu namun perlu hampir dua hari bagi para petugas penyelamat untuk mencapai lokasi jatuhnya pesawat akibat medan hutan yang berat serta cuaca buruk.
Henry Bambang Soelistyo, kepala Badan SAR Nasional (BASARNAS), mengatakan cuaca buruk masih menghambat operasi dan bahwa para petugas akan mencoba menggotong jenazah keluar lokasi.
"Hujan lebat dan jarak pandang yang buruk menghalangi upaya-upaya penyelamatan kami dan proses ekuasi akan dilakukan dengan berjalan kaki," ujar Henry, menambahkan bahwa jenazah-jenazah itu akan dibawa ke Jayapura untuk diidentifikasi.
Perekam data penerbangan dan suara kokpit, atau kotak hitam, telah ditemukan dalam kondisi baik, menurut Henry. Data dalam alat tersebut dapat membantu menjelaskan apa yang menyebabkan pesawat Trigana Air Service itu jatuh.
Pesawat turboprop kembar ATR42-300 itu sedang terbang dari Jayapura ke kota Oksibil, sekitar 280 kilometer dari ibukota Papua itu, ketika hilang kontak dengan pengawas lalu lintas udara.
Pesawat membawa 49 penumpang dan lima awak untuk penerbangan yang dijadwalkan berlangsung selama 42 menit. Lima anak-anak, termasuk dua bayi, ada di antara penumpang.
Pejabat pusat krisis maskapai itu di bandar udara Sentani di Jayapura, Budiono, mengatakan semua penumpang adalah warga negara Indonesia.
Hujan lebat, angin kencang dan kabut terjadi di Oksibil ketika pesawat hlang kontak dengan bandara beberapa menit sebelum dijadwalkan mendarat.
Penumpang pesawat juga termasuk empat petugas kantor pos yang mengawal empat karung uang tunai sekitar Rp 6,5 miliar sebagai dana bantuan kenaikan harga bahan bakar, menurut kepala kantor pos Jayapura, Franciscus Haryono.
Petugas penyelamat telah menemukan uang tersebut, yang sebagian terbakar, dan akan memberikannya kepada pihak berwenang, ujar Henry.