Sepuluh tahun lalu, ketika sebuah pesawat jatuh di sebuah daerah perumahan di Medan, Waktu Tarigan berpikir ia tidak akan pernah lagi menyaksikan peristiwa yang sama. Ternyata ia keliru.
Hari Selasa (30/6), sebuah pesawat angkatan udara dengan 122 orang di dalamnya jatuh ke daerah yang sama. Di jalan yang sama.
Tahun 2005, Padang Bulan merupakan daerah perumahan kelas menengah yang cantik di kota berpenduduk tiga juta orang itu. Jalan utamanya, Jamin Ginting, berhiaskan rumah-rumah bergaya kolonial dengan taman-taman yang tertata cantik.
Yang menjadi masalah hanyalah suara dari bandar udara Polonia di dekatnya, yang saat itu merupakan pintu masuk internasional untuk Pulau Sumatra.
"Saya tidak bisa lupa jatuhnya pesawat itu 10 tahun yang lalu. Rasanya seperti kemarin," ujar Waktu, 40, yang mengelola bisnis elektronik di rumahnya di seberang jalan tempat pesawat Mandala Airlines jatuh bulan Juni 2005, menewaskan sedikitnya 149 orang.
Ia ingat melihat pesawat menghantam beberapa rumah dan mendengar jeritan orang-orang yang terlempar dari badan pesawat. Ia berlari untuk menolong, tapi pesawat tersebut tiba-tiba meledak, menyelimuti pepohonan, rumah-rumah dan para penumpang dengan api.
Pesawat Boeing 737-200 itu jatuh hanya beberapa detik setelah lepas landas. Para korban termasuk 47 orang di darat. Sekitar 15 orang di pesawat selamat.
Sepuluh tahun kemudian, Padang Bulan berubah menjadi daerah perbelanjaan dan hiburan yang ramai, dengan jalan utama yang penuh dengan pusat perbelanjaan dan hotel-hotel, kafe dan spa.
Sebuah bandara internasional baru telah dibuka di luar kota Medan, sehingga Polonia sekarang ini digunakan oleh angkatan udara sebagai pangkalan udara Suwondo.
Tarigan mengatakan ia melihat pesawat Hercules C-130 yang berbadan lebar itu terbang sangat rendah setelah lepas landas, hampir menyentuh pohon di halaman belakang rumahnya, sebelum jatuh sekitar 2 kilometer dari Jamin Ginting.
Pesawat menghantam sebuah bangunan baru yang menurut media lokal berisi spa, toko dan rumah, menewaskan semua penumpang di dalamnya dan setidaknya 19 orang di darat.
"Tentu saja peristiwa untuk kedua kalinya ini membuat saya khawatir, apakah rumah dan keluarga saya dapat tertimpa pesawat jatuh berikutnya," ujar Tarigan, bapak empat anak.
"Tapi di mana saya harus tinggal? Rumah dan toko kecil ini tempat kami tinggal dan mencari nafkah. Saya terima kehendak Tuhan saja," ujarnya.
Mereka yang tewas dalam penerbangan itu termasuk personel militer dan keluarga mereka. Kerabat dari beberapa korban mengatakan mereka adalah warga sipil yang membayar untuk ikut dalam penerbangan, sesuatu yang melanggar aturan militer, guna mencapai daerah-daerah terpencil.
Para tetangga Tarigan dan warga yang tinggal dekat lokasi jatuhnya Hercules juga mengatakan dua bencana yang terpisah 10 tahun itu tidak membuat mereka ingin pindah.
"Bencana, kecelakaan dapat terjadi kapan saja dan pada siapa saja," ujar Vita Saragih, 36, yang mengelola warung makanan di seberang lokasi jatuhnya pesawat.
"Saya tidak mau meninggalkan rumah saya di daerah yang menjanjikan ini hanya karena ketidakpastian mengenai sesuatu yang dapat terjadi," tambahnya.