Seorang wali kota New Jersey yang dilarang menghadiri acara di Gedung Putih pada pertengahan tahun ini menjadi salah seorang dari belasan warga Muslim-Amerika yang mengajukan gugatan hukum terhadap pemerintah Amerika karena masih terus menggunakan daftar pemantauan teror, yang dibuat setelah serangan teroris 11 September 2001.
Mohamed Khairullah, Wali kota Prospect Park, New Jersey, yang telah menjabat selama lima periode, semula diundang bersama dengan sejumlah pejabat terpilih Muslim lainnya untuk menghadiri perayaan Idul Fitri di Gedung Putih pada bulan Mei lalu. Tetapi beberapa saat sebelum acara itu ia diberitahu bahwa ia tidak diizinkan masuk ke kawasan itu.
Secret Service tidak menjelaskan mengapa mereka menolak Khairullah, tetapi gugatan baru yang diajukan Khairullah bersama 11 orang lainnya mengatakan ia dilarang karena namanya ada dalam daftar pemantauan teror antara tahun 2019 dan 2022.
“Sekitar bulan Agustus 2022, setelah Tergugat menghapus Khairullah dari daftar pemantauan, mereka terus – dan terus berlanjut hingga hari ini – untuk menyimpan catatan status daftar pemantauan di masa lalu itu, dan menggunakannya untuk merugikan dan menstigmatisasi dirinya,” demikian petikan gugatan hukum tersebut
Gugatan tersebut diadjjukan oleh Dewan Hubungan Amerika-Islam, sebuah kelompok advokasi Muslim, terhadap 29 lembaga federal, termasuk Departemen Kehakiman, Biro Penyidik Federal FBI, Secret Service, Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan CBP, dan Administrasi Keamanan Transportasi TSA.
Pengacara CAIR, Hannah Mullen dalam wawancara dengan VOA mengatakan gugatan tersebut menyatakan para penggugat – yang mencakup delapan warga negara AS, tiga penduduk tetap, dan satu penerima suaka – masuk dalam daftar pemantauan teror itu karena agama mereka.
"Mereka semua telah ditempatkan dalam daftar pengawasan federal meskipun mereka tidak pernah diselidiki atau dihukum atas kejahatan terkait terorisme, dan meskipun pemerintah federal tidak memiliki alasan untuk mencurigai mereka sebagai teroris kecuali karena agama Islam yang mereka anut, nama mereka yang berbau Muslim, negara asal mereka yang berasal dari negara-negara mayoritas Muslim dan penanda lain dari identitas mereka sebagai Muslim.”
Para pejabat Amerika memandang daftar pengawasan tersebut sebagai alat keamanan yang penting dan menyangkal menggunakan daftar itu untuk menarget warga Muslim. Mereka mencatat hanya sebagian kecil dari nama-nama yang ada dalam daftar tersebut adalah warga Muslim-Amerika.
FBI mengatakan daftar tersebut mencakup "orang-orang yang dicurigai terlibat dalam terorisme atau aktivis yang berhubungan dengan terorisme,” dan bahwa berbagi daftar dengan badan-badan lain "membuat rakyat Amerika tetap aman."
Secret Service mengatakan tidak mengomentari proses hukum yang sedang berlangsung atau yang diusulkan. Namun dalam sebuah pernyataan kepada VOA, juru bicara Secret Service mengatakan, "Sebagaimana yang kami nyatakan sebelumnya, kami tidak dapat memberikan izin masuk kepada walikota itu ke Gedung Putih dan kami menyesali ketidaknyamanan yang mungkin terjadi."
Beberapa lembaga lain yang dihubungi VOA tidak segera memberikan tanggapan.
Gugatan itu meminta Pengadilan Distrik AS di Boston, tempat pengaduan diajukan, untuk memerintahkan pemerintah mengeluarkan nama dan badan di mana para penggugat bekerja guna memastikan daftar itu mematuhi Konstitusi dan undang-undang.
Kasus ini muncul pada peringatan ulang tahun arahan presiden tahun 2003 untuk membentuk “Pusat Penyaringan Teroris,” sebuah badan di bawah FBI yang mengelola “Terrorist Screening Dataset,” yang secara umum dikenal sebagai daftar pemantauan.
Daftar pemantauan ini mencakup lebih dari 1,5 juta nama yang disebut pemerintah sebagai "teroris yang diketahui atau dicurigai".
Daftar ini memiliki dua subset yang dikenal sebagai "Daftar Larangan Terbang" dan "Daftar Terpilih" yang digunakan oleh agen-agen federal untuk menyaring para pelancong udara.
“Daftar Larangan Terbang” terdiri dari nama sekitar 80.000 orang yang dilarang melakukan perjalanan udara di dalam, ke, dan dari Amerika. Sementara “Daftar Orang Terpilih” yang lebih kecil mencakup orang-orang yang harus menjalani pemeriksaan yang lebih ketat di bandara sebelum mereka diizinkan naik ke pesawat.
Konsekuensi dari masuk ke dalam daftar pemantauan itu tidak hanya terbatas pada kerepotan di bandara, tetapi juga ditolak ketika melamar pekerjaan, izin keamanan, kewarganegaraan Amerika, visa, lisensi senjata, dan tunjangan pemerintah lainnya, demikian bunyi gugatan tersebut.
Bahkan ketika FBI mencoret seseorang dari daftar pemantauan itu, seperti yang diduga terjadi pada Khairullah, badan tersebut tetap menyimpan informasi orang tersebut dalam basis datanya, tambah dokmen gugatan itu.
Informasi ini kemudian dapat digunakan oleh berbagai lembaga guna memeriksa orang tersebut untuk mendapatkan akses ke gedung-gedung, pekerjaan dan program federal, serta untuk pemeriksaan latar belakang dan keamanan, menurut gugatan tersebut.
Mullen mengatakan merupakan suatu hal yang "luar biasa" ketika seseorang yang tidak lagi dianggap sebagai ancaman oleh pemerintah masih bisa menghadapi bahaya dan stigma karena di masa lalu masuk dalam daftar tersebut.
Khairullah "tentu saja bukan satu-satunya orang dalam situasi ini, dan dia tentu saja bukan satu-satunya orang yang kami ketahui telah dirugikan oleh status daftar pengawasan di masa lalu," kata Mullen. [em/jm]
Forum