Sebuah penelitian dari Lembaga Studi Pembangunan di Universitas Sussex menunjukan bahwa dua milyar orang yang hidup dengan penghasilan $2 sehari atau kurang tinggal di negara-negara yang berpenghasilan menengah, dibandingkan dengan 500 juta orang miskin yang tinggal di negara-negara berpenghasilan rendah.
”Banyak negara dalam dekade terakhir ini khususnya telah berhasil memperbaiki pendapatan penghasilan rata-rata. Tetapi kemiskinan tidak menurun sebanyak yang diharapkan. Semua ini mengarah pada perdebatan baru mengenai semakin meningkatnya kesenjangan di seluruh dunia, dan apakah perdebatan di seputar sasaran pengentasan kemiskinan PBB yang harus diperbarui pada 2015, serta isu kesenjangan, harus mendapat perhatian yang lebih besar,” ujar Andy Sumner, pemimpin penelitian di lembaga studi tersebut.
Salah satu Tujuan Pembangunan Millenium (MDG) adalah pengentasan kemiskinan dan penghapusan kelaparan yang ekstrim menjelang 2015. PBB menyatakan, krisis ekonomi global dalam tahun-tahun terakhir telah memperlambat kemajuan. Karena krisis itu, “kini lebih banyak pekerja dan keluarganya hidup dalam kemiskinan yang ekstrem”.
Sumner mengatakan, sekalipun sebuah negara ekonominya tumbuh 5 persen sampai 6 persen, pengaruhnya sedikit pada mereka yang hanya berpenghasilan $1-$2 per hari.
Sumner menambahkan, separuh dari golongan miskin tinggal di India dan Tiongkok, dan seperempat lagi tinggal di negara-negara berpenghasilan menengah yang padat penduduknya, seperti Nigeria, Pakistan, dan Indonesia. Selebihnya tinggal di negara-negara yang berpenghasilan rendah.
Tetapi di mana penduduk miskin dunia tinggal pada 2020 atau 2030? Sumner mengatakan, separuh dari penduduk miskin dunia itu mungkin masih berada di negara-negara berpenghasilan menengah. Dia memperingatkan, angka itu bisa naik kalau kesenjangan antara golongan kaya dan miskin terus melebar.
Ia memperkirakan biaya penghapusan kemiskinan kira-kira mencapai $60 miliar sampai $80 miliar per tahun, atau 0,3 persen dari PDB dunia.
Sumner mengatakan, akibat pergeseran kemiskinan global dari negara-negara termiskin ke negara-negara yang berpenghasilan menengah, maka diperlukan pendekatan baru guna memahami dan mengatasi masalah kemiskinan ekstrem.
Katanya, ini termasuk distribusi yang lebih merata dari “keuntungan pertumbuhan ekonomi dan belanja publik bagi warga yang menderita kemiskinan yang kronis.
”Banyak negara dalam dekade terakhir ini khususnya telah berhasil memperbaiki pendapatan penghasilan rata-rata. Tetapi kemiskinan tidak menurun sebanyak yang diharapkan. Semua ini mengarah pada perdebatan baru mengenai semakin meningkatnya kesenjangan di seluruh dunia, dan apakah perdebatan di seputar sasaran pengentasan kemiskinan PBB yang harus diperbarui pada 2015, serta isu kesenjangan, harus mendapat perhatian yang lebih besar,” ujar Andy Sumner, pemimpin penelitian di lembaga studi tersebut.
Salah satu Tujuan Pembangunan Millenium (MDG) adalah pengentasan kemiskinan dan penghapusan kelaparan yang ekstrim menjelang 2015. PBB menyatakan, krisis ekonomi global dalam tahun-tahun terakhir telah memperlambat kemajuan. Karena krisis itu, “kini lebih banyak pekerja dan keluarganya hidup dalam kemiskinan yang ekstrem”.
Sumner mengatakan, sekalipun sebuah negara ekonominya tumbuh 5 persen sampai 6 persen, pengaruhnya sedikit pada mereka yang hanya berpenghasilan $1-$2 per hari.
Sumner menambahkan, separuh dari golongan miskin tinggal di India dan Tiongkok, dan seperempat lagi tinggal di negara-negara berpenghasilan menengah yang padat penduduknya, seperti Nigeria, Pakistan, dan Indonesia. Selebihnya tinggal di negara-negara yang berpenghasilan rendah.
Tetapi di mana penduduk miskin dunia tinggal pada 2020 atau 2030? Sumner mengatakan, separuh dari penduduk miskin dunia itu mungkin masih berada di negara-negara berpenghasilan menengah. Dia memperingatkan, angka itu bisa naik kalau kesenjangan antara golongan kaya dan miskin terus melebar.
Ia memperkirakan biaya penghapusan kemiskinan kira-kira mencapai $60 miliar sampai $80 miliar per tahun, atau 0,3 persen dari PDB dunia.
Sumner mengatakan, akibat pergeseran kemiskinan global dari negara-negara termiskin ke negara-negara yang berpenghasilan menengah, maka diperlukan pendekatan baru guna memahami dan mengatasi masalah kemiskinan ekstrem.
Katanya, ini termasuk distribusi yang lebih merata dari “keuntungan pertumbuhan ekonomi dan belanja publik bagi warga yang menderita kemiskinan yang kronis.