Ofri Bibas Levy telah dihantui oleh mimpi-mimpi buruk sejak 7 Oktober lalu, ketika saudara laki-lakinya, saudari iparnya, beserta dua anak mereka yan masih kecil diculik oleh militan Hamas dari rumah mereka dan dibawa ke Jalur Gaza.
Dalam mimpinya itu dia melihat kerabatnya yang ditawan, tapi dia tidak melihat saudara laki-lakinya, Yarden. Kelalaian bawah sadar ini mungkin mencerminkan cobaan berat yang dialaminya: Hanya perempuan dan anak-anak yang diperkirakan akan menjadi salah satu dari 50 sandera yang dibebaskan selama gencatan senjata empat hari antara Israel dan Hamas yang dimulai Jumat (24/11) ini.
Semua pria, dan banyak perempuan, akan tetap menjadi tawanan di Gaza untuk saat ini. Tidak jelas apakah semua anak diharapkan dibebaskan. Hamas pada Jumat membebaskan 24 orang, termasuk 13 wanita dan anak-anak Israel, 10 orang warga Thailand dan satu orang Filipina.
“Ini adalah kesepakatan yang menempatkan keluarga-keluarga tersebut dalam situasi yang tidak manusiawi. Siapa yang akan bebas dan siapa yang tidak?” Bibas Levy bertanya.
“Anak-anak dibebaskan, tapi saudara laki-laki saya dan banyak orang lainnya tetap disandera?” Kerabatnya tidak termasuk di antara mereka yang dibebaskan pada pembebasan pertama hari ini.
Kesepakatan itu akan memberikan kelegaan bagi puluhan orang yang kerabatnya disandera – serta warga Palestina di Gaza yang telah mengalami pengeboman selama berminggu-minggu dan kondisi yang mengerikan.
Harapan bagi kesepakatan yang lebih luas
Namun dengan sekitar 240 sandera di tangan militan, hanya sebagian kecil dari keluarga yang akan dipersatukan kembali berdasarkan perjanjian yang ada saat ini. Ada harapan bahwa perjanjian tersebut dapat diperluas: Israel mengatakan akan memperpanjang gencatan senjata satu hari untuk setiap 10 sandera yang dibebaskan.
Namun, banyak keluarga yang diperkirakan masih harus menanggung derita karena tidak mengetahui nasib orang-orang yang mereka cintai.
Penderitaan para sandera – yang meliputi pria, wanita, bayi, anak-anak dan orang lanjut usia – telah mencengkeram warga Israel. Keluarga para tawanan telah memulai kampanye untuk membebaskan orang-orang yang mereka cintai yang telah menarik hati banyak orang dan meningkatkan tekanan pada pemerintah Israel untuk membuat konsesi dan mendapatkan kesepakatan bagi pembebasan mereka.
Tekanan tersebut dan dukungan publik yang luas dari keluarga tersebut dapat memaksa pemerintah untuk memperpanjang gencatan senjata, meskipun pemerintah telah bertekad untuk terus berperang setelah gencatan senjata sementara ini berakhir.
Menjamin pembebasan seluruh sandera, terutama para sandera para tentara di antara mereka, terbukti sulit. Para militan di Gaza memandang para tawanan itu sebagai alat tawar-menawar yang penting dalam perang mereka dengan Israel.
Pemimpin Jihad Islam, sebuah kelompok militan yang bersekutu dengan Hamas, mengatakan pada hari Jumat bahwa para tentara Israel yang ditahan tidak akan dibebaskan sampai semua tahanan Palestina yang ditahan oleh Israel dibebaskan.
Bibas Levy telah menunda hidupnya untuk mengabdikan dirinya untuk memperjuangkan pembebasan keluarganya – keponakannya yang berusia 10 bulan dan 4 tahun adalah beberapa di antara sandera termuda yang ditawan. Levy yang bekerja sebagai terapis okupasi dan terpaksa pindah dari Israel selatan yang sering menjadi sasaran serangan dua bulan sebelum serangan Hamas 7 oktober, mengatakan bahwa dia akan terus berjuang sampai semua para kerabatnya bisa kembali.
Sementara, Dani Miran – yang putranya Omri disandera – putus asa atas nasib putranya. Dengan ketidakpastian yang tak tertahankan dan tanpa tanda-tanda kehidupan selama tujuh minggu, ia selalu dirundung oleh kekhawatiran akan nasib mereka.
“Anak saya tidak ada dalam daftar (sandera yang dibebaskan). Dia berusia 46 tahun. Dan saya berharap dia berada dalam kondisi kesehatan yang bisa mengatasi semua kesulitan yang ada, tidak melukainya, tidak menyiksanya, dan tidak melakukan hal-hal yang tidak manusiawi,” kata Miran.
'Kita harus bersabar'
Bagi banyak keluarga, berita tentang kesepakatan tersebut telah memicu emosi yang campur aduk – kesedihan karena mereka tidak mengharapkan orang yang mereka cintai dibebaskan dan berharap hal itu dapat menyebabkan pembebasan lebih lanjut.
“Saya berharap mereka semua kembali, dan saya yakin mereka semua akan kembali. Tapi kita harus bersabar, dan tetap kuat,” kata Yaakov Argamani, yang putrinya, Noa, 26 tahun, ditawan, bersama puluhan pemuda lainnya dari sebuah acara festival musik ketika serangan terjadi.
Banyak keluarga mengatakan mereka tidak tahan lagi mendengarkan berita ini karena semua liku-liku negosiasi tidak mampu dilakukan. Kesepakatan yang dicapai saat ini, yang dicapai setelah negosiasi yang penuh ketegangan selama berminggu-minggu, tampak pasti hingga hambatan pada menit-menit terakhir menyebabkan penundaan satu hari.
“Situasi ini seperti roller coaster (tidak menentu, red.),” kata Eyal Nouri, yang bibinya Adina Moshe, 72, termasuk di antara mereka yang dibebaskan pada hari Jumat. Sebelumnya, Nouri mengatakan bahwa dia tidak menyangka bibinya, Adina Moshe, termasuk di antara mereka yang dibebaskan. Suami Moshe, Said, dibunuh pada Jumat 7 Oktober.
Mimpi buruk bagi banyak orang tidak akan berakhir meski kerabat mereka dibebaskan, kata Nouri.
Setelah reuni yang penuh kegembiraan, mereka yang dibebaskan harus menghadapi trauma akibat penahanan mereka, kematian orang-orang yang mereka kasihi, komunitas mereka yang hancur, dan negara mereka yang dilanda perang.
“Dia tidak punya apa-apa. Tanpa pakaian, tanpa rumah, tanpa suami, tanpa kota. Tidak ada,” kata Nouri. Setelah dibebaskan, “Dia harus membangun hidupnya dari awal, pada usia 72 tahun. Hidup kami benar-benar sangat berbeda (dari sebelumnya).” [pp/ft]