Sumber-sumber diplomatik mengatakan, Selasa (11/5), mengatakan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akan mengadakan pertemuan mendesak, Rabu (12/5), untuk membahas krisis Israel-Palestina yang menelan korban jiwa, sesi kedua dalam tiga hari.
Pertemuan tertutup itu diajukan Tunisia, Norwegia dan China. Yang pertama, diadakan pada Senin (10/5) dan berakhir tanpa pernyataan bersama, di mana Amerika Serikat menyatakan keengganan untuk mengadopsi rancangan pernyataan yang diusulkan oleh Norwegia "pada saat ini."
Naskah yang diketahui kantor berita AFP itu akan menyerukan Israel untuk "menghentikan sejumlah kegiatan di permukiman, pembongkaran dan penggusuran" termasuk di Yerusalem timur.
Dalam pernyataan itu, beberapa anggota Dewan Keamanan PBB juga menyampaikan "keprihatinan yang besar terhadap peningkatan ketegangan dan kekerasan di wilayah pendudukan Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur" yang dianeksasi Israel dan dianggap sebagai bagian dari ibukotanya.
Ditanya pada Selasa (11/5), terkait pencabutan tentangan Amerika Serikat terhadap pernyataan Dewan Keamanan tersebut, juru bicara Departemen Luar Negeri Ned Price menahan diri untuk tidak langsung menjawab pertanyaan tersebut.
"Kami ingin memastikan langkah-langkah itu, baik yang berasal dari pemerintah Israel, Otoritas Palestina atau Dewan Keamanan PBB, berfungsi, bukan untuk meningkatkan atau memprovokasi, melainkan mengurangi konflik," Price menjelaskan lebih jauh.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, Selasa (11/5) menyatakan eskalasi itu harus dihentikan.
"Pasukan keamanan Israel harus menahan diri secara maksimal dan mengkalibrasi penggunaan kekuatan mereka," tegas Guterres dalam sebuah pernyataan sekaligus menambahkan bahwa "peluncuran roket dan mortir secara sembarangan ke arah pusat-pusat hunian warga Israel tidak dapat diterima."
Sedikitnya 28 warga Palestina di Jalur Gaza yang diblokade dan tiga warga Israel tewas dalam eskalasi kekerasan yang meningkat tajam itu. [mg/em]